
Kutinggalkan
Indonesia, negeri indah penuh bajingan itu. Bajingan yang bisa
berkamuflase, dalam segala bentuk dan suasana. Terbang menuju negeri
baru yang mungkin akan memberikan nasib lebih baik bagiku. Posisiku
sudah cukup lumayan di rumah sakit tempat aku bekerja, cukup kalau hanya
sekedar menghidupi diriku sendiri, tapi untuk menghidupi keluarga,
apalagi untuk menghidupi anak2ku nanti, aku tidak tahu. Setelah kupikir
lama dan atas persetujuan keluarga, akhirnya aku berangkat juga. Hanya
saja ada torehan luka yang tersayat menjelang saat2 keberangkatanku,
tunanganku memutuskan untuk tidak memberikan lagi curahan cintanya
kepadaku, jarak yang terlalu jauh katanya, alasan klise yang membuat
hatiku hancur, perjuanganku selama ini ternyata sia2, pengorbananku
terhadapnya terlempar begitu saja. Tapi aku hanya bisa menangis, sampai
kacamataku harus rela basah oleh deritaku. Memalukan mungkin, bagaimana
mungkin aku menangis di saat usiaku yang sudah menjelang kepala tiga.
Tertatih2
di negeri baru, aku tidak perduli, hidup kuanggap sebagai permainan
judi, kalah dan menang adalah keniscayaan. Kehidupan baruku terisi
dengan kerja dan kerja, profesi perawat di sini ternyata tidak semudah
di Indonesia, aku harus mengurus orang2 tua yang praktis sudah tidak
bisa apa-apa, orang2 tua yang sudah tidak diurus oleh anak2nya,
yang hanya didatangi jika mereka sudah mati, hanya demi mendapatkan beberapa dari peninggalannya yang masih berarti.
Aku
pun bisa menabung, penghasilan yang kudapatkan jelas jauh lebih besar
daripada yang kudapatkan di Indonesia, tak lupa setiap bulan aku akan
mengirim sebagian ke keluargaku dan sebagian lagi aku sumbangkan untuk
pembangunan masjid di RW-ku yang setahuku sejak aku masih SMP sudah
mulai dilakukan pembangunan dan sampai sekarang belum selesai.
Keluargaku begitu bahagia, itu terlihat dari surat2 yang mereka
kirimkan, tak lupa juga ada salam dari ketua RW segala, yang sangat
berterima kasih telah menyelamatkannya dari coreng moreng cemooh atas
tertunda2nya pembangunan masjid itu.
1 tahun berlalu..........................
Queen's
Day, Koningin Dag, orang sini bilang. Semua orang keluar dari rumah,
merayakan hari kelahiran ratu. Dan hari ini telah tertradisikan menjadi
sebuah pasar terbuka di seluruh pelosok negeri, semua barang2 rumah yang
sudah jarang dipakai ataupun sudah tidak dipakai akan dipajang di depan
rumah atau di pusat2 kota untuk dijual murah, mungkin bisa dibilang
hampir gratis. Rumah jompo tempat aku bekerja berinisiatif untuk
menghibur para bewoners* dengan apa yang kami bisa. Aku dan para teman2
sekerja pun mulai berunding, ada yang menginginkan pemutaran film, ada
yang drama, ada yang ballet, ada yang ingin diadakan sekedar pesta
kecil2an, ada pula yang tidak mau mengadakan acara mengingat kami
kekurangan orang.
Tapi
akhirnya diputuskan untuk membuat dua acara, ballet dan drama. Hampir
semua dari kami diharuskan bermain, bahkan Eric satu2nya laki2 di antara
kami pun diwajibkan ikut. Untuk ballet dipilih bagian terakhir dari
cerita "Romeo and Juliet" yang mengharukan itu, setelah berdebat seru
karena sebagian yang lain ingin "Don Quixote", karena kisahnya lebih
heroik. Untuk drama kami memutuskan untuk memainkan "The
Inspector-General" sebuah drama komedi ala Rusia. Aneh2 saja memang,
ternyata Rusia mempunyai permasalahan yang hampir sama dengan bangsaku
Indonesia, penuh dengan pejabat yang korup dan sewenang2, berteriak2
seakan komunis**tetapi berjiwa oligark***. Eric membisiku begitu,
setelah melihat aku hanya melongo saja, karena aku tidak tahu apa isi
drama Rusia itu.
Aku
kebagian peran menjadi Juliet, dan setelah beberapa lama berdebat,
Janice kebagian peran Romeonya. Sebenarnya peran itu ditugaskan ke Eric,
tapi Eric dengan mentah2 menolaknya, selidik punya selidik, ternyata
dia seorang gay, yang mungkin jijik jika berciuman dengan lawan jenisnya
seperti aku ini. Rumor itu ternyata benar, Eric yang akrab sekali
dengan dunia malam itu, sepertinya sudah bosan dengan perempuan dengan
segala tetek bengeknya.
Siang
itu pertunjukan begitu meriah, kulihat lagi senyum2 bahagia di antara
orang2 tua itu, yang biasanya sehari2 cuma bisa memerintah dan teriak2
minta tolong. Dan pertunjukan balletku sebagai Juliet adalah pertunjukan
pamungkas, dengan adegan ciuman Romeo kepada Juliet, Janice menciumku
dengan lembut, lembut sekali, getaran yang bertransformasi menjadi
sensasi indah. Aku kaget campur bingung, ciuman itu terasa sangat lain.
Geletarnya merambat ke seluruh tubuh...., aku sampai meneteskan air
mata.
Setelah
acara selesai, Janice menghampiriku, menanyakan apakah aku baik2 saja,
karena melihat aku menangis tadi. Aku bilang baik2 saja, karena aku
menangis bukan karena sedih, tapi karena ada sesuatu yang tak terkatakan
dalam ciuman tadi. Janice mengundangku datang ke rumahnya malamnya,
sekedar untuk masak bersama dan keluar ke pusat kota untuk sekedar cuci
mata.
Sudah
agak larut ketika kami pulang dari tempat kerja kami, aku dan Janice
yang kebetulan tinggal tidak terlalu jauh pulang bersama2. Dingin musim
semi masih semilir menebarkan nuansanya, masih membuat bunga2 sedikit
malu untuk menawarkan indahnya. Kami berjalan agak bergegas, diantara
gedung2 kuno dan museum yang memang menjadi ciri khas kota yang aku
tinggali. Janice berjalan sambil menggenggam tanganku, dingin yang tadi
aku rasakan, berubah menjadi hambar atau mungkin netral, aku tidak tahu.
Yang pasti aku seperti cawan anggur yang telah kehilangan isinya,
berisi partikel2 udara dan siap dimasuki oleh tuangan selanjutnya.
Sekitar
jam 7 malam, aku ke dapur untuk memasak. Tak lama kemudian Janice pun
datang, dia sudah berpakaian rapi, agak lain dari biasanya. Kami pun
masak Tagliatelle*********, salah satu makanan favorit yang hampir
disukai semua orang di tempat kerja kami.
Diam2 Janice merangkulku dari belakang dan membisikkan..
"I love you..."
aku segera menyibakkan tangannya, dan berbalik arah.
"Kamu gila ya......" dengan nada ketus aku mengucapkannya, tak tahu apa ada kata lain yang lebih bagus.
"Kebahagiaan
orang yang dicintai adalah kebahagiaan orang yang mencintai" dengan
tatapan matanya yang nanar ke arahku, Janice
dengan geragapan mengucapkan kalimat itu.
Aku terdiam................................................
Kami
tinggal serumah sekarang, sedari awal aku sudah berusaha menyembunyikan
berita ini. Tapi gosip dengan santernya beredar, apalagi di kalangan
kelompok pengajian PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang sering aku
ikuti. Aku menjadi terasing di forum yang biasanya syarat pesan2 moral
itu. Anggapan bahwa aku seorang lesbi membuat mereka berhati2
terhadapku, dan dari pandangan mata mereka tampak sekali bahwa mereka
seakan jijik melihatku. Itupun ditambah dengan sindiran2 halus nan
menyakitkan ketika ada ceramah, tentang berbahayanya homoseksual
(menyukai sesama jenis kelamin) baik itu gay ataupun lesbi. Bahkan
Hasan, yang selama ini sangat dekat denganku, dan aku tahu dia memang
menyukaiku, berubah 180% menjadi memusuhiku.
Hatiku
hancur, arus yang biasanya ramah kepadaku, kini semakin deras
menyeretku dan merobek2 pertahananku dengan pusaran2nya yang dahsyat dan
mematikan. Tapi aku berusaha menguasai diriku, apapun yang terjadi,
akal harus selalu berada di atas perasaanku. Kala sendiri di rumah dan
Janice sedang kerja, aku sering menangis, mengapa Tuhan membalas
ketaatanku selama ini dengan perasaan seperti ini. Tapi sekali lagi aku
tidak perduli, apakah Tuhan yang katanya penuh cinta itu akan melarang
makhluknya untuk mencintai makhluk lainnya walaupun itu sesama jenis.
Dan aku tahu bahwa aku tidak sendiri, Janice yang berasal dari keluarga
Katolik Ortodoks itupun menghadapi permasalahan yang sama. Keluarganya
sangat marah begitu mendengar bahwa kami samen leven, menginjak2 ajaran
Bible katanya. Sodom dan Gomora sudah diratakan dengan tanah, karena
Tuhan geram atas tindakan penghuninya, dan sekarang anaknya yang
melakukan hal yang sama. Tak jauh beda denganku yang dituduh makar
terhadap ajaran Al-Quran, melakukan liwath**** dengan terang2an.
Janice
sudah mengatakan tentang hubungan kami kepada orangtuanya, dan dia
sekarang menuntutku untuk melakukan hal yang sama, liburan summer ini
dia ingin aku memperkenalkan dia ke keluargaku. Aku shock berat, tak
tahu harus berbuat apa, berpikirpun aku tak berani, aku yang sudah
sedemikian terisolir di kalangan sahabat2ku itu, tak mau membayangkan
jika juga harus terdepak dari keluargaku yang sangat aku cintai.
Sedemikian pedih penderitaanku, dan tidak ada yang bisa aku ajak membagi
cerita, apalagi membagi duka. Kalutku semakin memuncak, sampai aku
sakit, beberapa hari ini aku tidak masuk kerja. Kadang ada pikiran untuk
mengakhiri saja hidup ini, tapi ketika kupikir lagi, bukannya
menyelesaikan masalah, malah akan tambah memperparah. Tiba2 ada
keinginan untuk memainkan hp-ku, dan mataku terantuk pada sebuah nama,
Ahmad, dia yang selalu diam ketika ceramah itu dan seketika berubah
menjadi play maker dengan canda dan kata2nya sehabis ceramah. Aku
meneleponnya...
"Met Ahmad *****......." terdengar suara merdunya di ujung sana.
"Assalamu alaykum, Ahmad kamu bisa datang ke rumahku sore ini"
"Hhmmm, aku kerja sampai jam 5 sore, gimana klo agak malam, jam 7an gitu, tidak apa2 kan..?"
"Oke deh, klo kamu capek ya jangan, tapi klo tidak terima kasih sekali. Tot vanavond..******"
Ahmad
datang tepat waktu, sudah menjadi kebiasaannya, justru karena dia tidak
pernah memakai arloji. Gatal katanya kalau pakai arloji, dasar orang
kampung hehehe..., tapi konon Ahmad ini pinter, dan religius juga, puasa
senin kamisnya gak pernah ketinggalan walau udah lama di negeri orang.
Tapi persetan dengan itu semua, mau dia puasa, mau dia sholat, mau dia
bajingan, aku tidak perduli, aku hanya ingin curhat. Meminta sekedar
pendapat tentang masalahku.
"Tuhan
menghukum kaum Luth di Sodom dan Gomora, karena mereka mau melakukan
homoseksual itu dengan paksa, dan waktu itu akan dilakukan kepada tamu
nabi Luth, sebenarnya jika dengan baik2 dan tidak memaksa, mungkin
kejadiannya akan berakhir lebih bagus"
aku
kaget bukan alang kepalang, kata2 menyejukkan pertama kali yang
kudengar dari orang yang kubayangkan beragama. Setelah aku cerita
panjang lebar tentang diriku, aku hanya bisa berharap bahwa Ahmad
menasihatiku baik2 bahwa perbuatanku salah dan sebagainya, atau
menjelaskan bahwa perbuatanku adalah salah satu mental disorder (
kelainan jiwa).
"APA
(American Psychiatric Association) sudah menerangkan bahwa homoseksual
bukan kelainan, begitupun WHO. Kita menjadi gay, lesbi, biseks ataupun
hetero bisa jadi karena memang dari sananya sudah begitu, naturenya kita
sudah diciptakan begitu. Aku sebagai seorang hetero tidak berhak
menyalahkanmu atas pilihanmu, karena cinta adalah ungkapan tulus seorang
anak manusia, siapapun itu bahkan Tuhan sekalipun tidak berhak
melarangmu"
pernyataan
keduanya lebih membuat aku kaget lagi, seorang Ahmad yang selama ini
diam ternyata menyimpan pernyataan2 toleran
dan egaliter semacam itu.
"Tapi
aku pernah juga mencintai seorang laki2 Ahmad, aku takut kalau aku
mengingkari kodratku" aku masih kurang percaya apa yang dikatakan Ahmad,
aku hanya ragu mungkin saja dia hanya ingin mengurangi deritaku dengan
ucapan2nya.
"Memang, karena memang homoseksualitas tidak hanya dari nature saja, tapi juga dari nurture,
lingkungan yang membentuk kita. Setiap orang bisa berbeda dalam tahap
identifikasinya, teman sekolahku, seorang cowok yang sejak kecil tinggal
bersama neneknya dan dikasih main boneka2 an akhirnya dia mempunyai
sifat gay juga"
Krinnggg....Kringgg...Kringg...........
suara
bel dipencet, rupanya Janice sudah selesai kerja. Aku segera bangkit
meninggalkan Ahmad dan membuka pintu untuk
Janice.
"Goede avond schatje..*******" suara serak Janice langsung keluar begitu pintu terbuka.
"Kom binnen mijn lieveling..********"
Janice
langsung mencium aku di bibir. Setelah bibirnya lepas, aku segera ingin
memperkenalkan Janice pada Ahmad, Ahmad rupanya agak melengos, mungkin
baru pertama kali bagi dia menonton adegan ciuman dua cewek secara
langsung di depan matanya, sehingga sifatnya yang malu2 menuntunnya
untuk lebih baik tidak melihat.
Setelah
perkenalan basa basi, Janice langsung pergi ke kamar mandi, dan aku
melanjutkan percakapanku dengan Ahmad di kamar. Aku lebih suka di kamar
karena pembicaraan kami memang rahasia, dan Janice tahu itu. Dia tidak
cemburu kalau aku memasukkan cowok ke kamarku, tapi kalau cewek, dia
pasti akan marah habis2an.
Rupanya
dibalik diamnya, Ahmad adalah sahabat yang sangat hangat dan charming,
pendengar yang baik dan pengertian. Sehingga dengan itu, aku mendapatkan
perasaan untuk bebas mengungkapkan segala keluh kesahku. Akupun cerita
panjang lebar tentang masa laluku di pesantren, dimana aku merasa bahwa
kehidupanku sangat dikekang. Apalagi kalau masalah cinta2an, menerima
surat saja disensor habis2an. Jika tidak dari keluarga, kemungkinannya
kecil sekali untuk sampai ke tangan yang dituju. Mungkin aku menikmati
hubungan sesama jenis sejak aku di pesantren, karena nafsu yang menggebu
dan tanpa ada penyaluran sama sekali walaupun lewat surat, banyak di
antara kami yang bercinta di antara kami sendiri. Aku tidak tahu angka
pasti berapa yang melakukannya, tapi yang pasti cukup banyak di antara
sekitar 3.000 an santriwati yang belajar di pesantren itu. Ahmad masih
mendengarkan dengan setia, sambil kadang mengangguk, atau menerawang tak
tahu ke mana.
"Struktur
dan paham institusi religi memang perlu saatnya banyak dirombak,
kejadian yang kamu alami tidak hanya terjadi di pesantren wanita, di
pesantren laki2 pun seperti itu, bahkan bukan rahasia lagi banyak pula
terjadi di kepastoran atau di paroki, di wihara dan sebagainya, dimana
pengekangan seks telah melampaui batas normal."
Lagi2
Ahmad membuatku tersentak, darimana dia tahu kalau kasus homoseksual
itu terjadi di banyak lembaga2 suci itu. Jangan2 dia ngarang cerita
saja, tapi aku tidak berani bertanya. Sepertinya dia bersungguh2 dengan
ucapannya, dan aku tahu dia orang yang tidak suka berbohong.
"Ahmad,
Janice meminta aku untuk memperkenalkannya pada keluargaku summer ini,
sebagai pasanganku tentunya, karena dia sudah
melakukannya pada keluarganya, bagaimana menurut pendapat kamu...? "
"
Aku tidak tahu, itu terserah kamu, kalau kamu rasa orang tuamu siap,
tidak masalah. Tapi maafkan kalau aku salah, menurut pertimbanganku,
bapakmu yang kiai itu pasti akan shock berat. Sebaiknya jangan secara
frontal memberitahu hubungan kalian, datanglah dulu apa adanya, biarlah
Janice menjadi sedikit bagian dari keluargamu, mungkin kedatangan
selanjutnya ketika suasana sudah cukup cair, baru kamu bilang terus
terang".
Aku memeluk Ahmad, dia rupanya kali ini yang kaget....
"Terima kasih ya......."
tubuh
Ahmad begitu hangat, tiba2 saja aku mengarahkan bibirku ke bibirnya,
dia semula mengelak ke belakang, tapi aku
segera menarik tubuhnya kembali.
"Kamu gila ya.." bisik Ahmad pelan-pelan.
"Cinta itu tidak sesederhana yang kita rasa" aku kembali memagut bibirnya.
>>>>>>>>>>>>>>>>to SOme
one.>>>>>>>>>>>>>
.lihatlah..perubahan bisa dilakukan siapa saja..q tunggu hal itu di dirimu..!!!
>>>>>>>>>>>>>>>>> Mt>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
.lihatlah..perubahan bisa dilakukan siapa saja..q tunggu hal itu di dirimu..!!!
>>>>>>>>>>>>>>>>> Mt>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
* penghuni panti jompo
** dari kata komunal, mengutamakan kepentingan orang banyak.
*** oligark, seorang yang berjiwa oligarki (pemerintahan berada di sebagian kecil segmen masyarakat)
**** secara harfiah berarti perbuatan kaum nabi Luth, yaitu homoseksual.
***** Dengan Ahmad...., budaya di Belanda ketika mengangkat telpon, langsung menyebut nama.
****** Sampai malam nanti
******* Selamat Malam Sayang
******** Silahkan Masuk Kasihku
********* Sejenis pasta, bisa juga disebut fetuccini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar