Minggu, 13 November 2011

Hunian Exclusive & Minimalis

Telah Di Bangun Hunian Exclusive & Minimalis " Muding Pesona Indah"
Jl. Muding indah X  Denpasar.
Harga Mulai Rp.560 Juta Saja

Spesifikasi
- Status  : SHM
- Listrik  : PLN 200 VA
- Air      : Sumur Bor
- Pondasi & Struktur Bangunan   : Pondasi telapak batu kali & Beton Bertulang
- Dinding  : batu Bata Di Plester Aci Cat Interior With Vinalex
- Lantai :  - Ruang tamu                 : Keramik Platinum uk 50 x 50
               - Ruang Kel,Dapur         : Keramik Murano uk 30 x 30
               -  Toilet lantai & Dinding  : Keramik Asia Tile uk 20 x 20
- Atap  : - Atap Baja Ringan Zinchalium
              - Genteng Beton Plat ex Lokal (tanpa Cat)
-Plafond : - Rangka Plafond  : Besi Hollow 2/4
                - Penutup Plafond : Gypsum Coklat
- Kusen : Aluminium 4" Anodise Coklat
-Daun Pintu & Jendela : -Pintu Utama  : Daun Pintu Panel Double Teakblock & Finishing Politur UltranLazur
                                     - Jendela        : Frame Aluminium kaca 6 mm
-Sanitair : Closet         : Closet Duduk Amstard / Setara
                                     Watafel TOTO
                                     Shower Lokal
                                      Zink Stainless ex Lokal
- Railing Tangga : Besi Hollo 5 x 5    &  2 x 4 Finishing cat
- Carport                      : Paving

>> Just Info  :                                     Type A harga Mulai  560 jt
                        

                                                        Type B harga Mulai  820 jt

Minat?? Buruan hubungi.......

Contak person:  0878 627 81 627 / 085 333 57 6666 (Mitha)
Denah Lokasi --->


Kamis, 22 September 2011

Cerita Rakyat Sumbawa

Cerita Rakyat daerah Sumbawa


JOMPONG SUAR

Ratusan tahun yang lalu tersebutlah seorang pemuda bernama Jompong Suar wajahnya tampan tubuhnya kekar berisi walaupun umurnya baru menginjak lima belas tahun. Dari penuturan orang, keluarga Jompong Suar adalah keluarga pendatang. Mereka bukan asli dari desa itu. Ayahnya bernama Pandelala dan ibunya dipanggil orang Dendelawi. Dahulunya mereka hanya sekedar mengungsi akibat terusur dari tempat asalnya.
Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah anak tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja. Permintaanya kerap dikabulakan hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya harapan masa depan orangtuanya ditumpahkan. Namun pada diri Jompang Suar terdapat watak yang kurang baik. Ibarat kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali mengganggu anak - anak di dasarnya. Tak jarang menampar dan memukuli anak - anak seumurnya. Kelakuannya tidak saja mengusik tetapi bahkan merampas dan menjarah sesuatu yang bukan miliknya sering pula dilakukan. Akibatnya teman sebabnya menyingkir dan menjauhinya.
 Tentang kelakuan Jompong Suar yang tidak baik itu telah banyak diberitahukan orang kepada ayahnya. Tetapi ayahnya tak pernah mengindahkan. Pandelala malah mengelak tuduhan itu dan selalu membela Jompong Suar.
 Ketua adat di desa itu mencela sikap Pandelala. Tentang itu mereka semua berujar.
 “Pandelala adalah sosok orangtua yang tidak bijaksana, sikap yang harus dihilangkan pada setiap orang. Membela yang salah pada gilirannya kebatilan bertambah subur. Kebenaran semakin luntur. Benar dan salah saling membentur Keadilan makin terkubur, hati nurani menjadi hancur. Sikap itu harus dihentikan”. Demikian tekad mereka.
Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung berubah walaupun berkali - kali mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya orang desa menyindir, “kecil teranja - anja besar terbawa - bawa setelah tua takkan berubah”. Keluh orang tua, “Tak dibilang jadi binasa, dibilang juga jadi bencana”. Karena tak tahan lagi maka mufakatlah beberapa orang kampung untuk melaporkan kelakuan buruk Jompong Suar kepada Sang Raja.
Kedatuan (kerajaan) Sadiwangi mempunyai wilayah cukup luas. Ke Utara sampai ke Ai Sempang yaitu desanya Jompong Suar. Sedang ke selatan berkesudahan dengan pantai laut. Kedautan ini diperintah oleh seorang Datu (Raja)yang bernama “Buntar Buana”. Baginda raja dikenal tegas dalam pendiriannya. Keamanan dan ketenteraman rakyatnya adalah masalah utama yang sangat menjadi perhatian raja. Siapa saja yang berbuat onar atau kerusuhan, pertengkaran, perampokan, baginda raja tidak segan - segan memberikan hukuman berat terhadap pelakunya. Baginda menginginkan agar rakyatnya dapat melakukan setiap usaha mereka dengan perasaan tenang tiada dihantui rasa takut dan was - was. Sistem keamanan lingkungan sangat diperkuat. Lebih - lebih setelah peristiwa sedih menimpa istana.
Sekitar setahun yang lalu putri bungsu baginda yang bernama Mandang Wulan hilang dari istana. Tidak diketahui kemana perginya. Apakah dilerikan orang ataukah telah tewas tiada seorangpun yang  tahu. Ke seluruh penjuru kerajaan telah dilakukan pencarian namun tak seorangpun yang dapat memberikan petunjuk dimana Mandang Wulan berada. Inilah yang membuat baginda raja selalu masygul.
Pada suatu petang yang cerah tiada awan selembarpun menutupi langit. Angin semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan di sore itu. Paduka raja bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang - bincang. Baginda raja selalu mengaharapka agar seluruh penghuni istana tetap berupaya menemukan putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan supaya dibawa pulang ke istana.
Tiada lama setelah bincang - bincang selesai, masuklah seorang penjaga istana dan langsung mengharapka baginda. Setelah menghatur sembah, penjaga istana itupun berkata.
“Hamba datang untuk melaporkan bahwa di luar istana ada empat orang tamu yang ingin menghadap baginda”, kata penjaga istana.
“Bawalah mereka masuk”. Jawab baginda singkat
Setelah empat orang tamu itu bersimpuh di depan raja, salah seorang berkata.
“Ampun tuanku. Hamba berempat datang dari tempat yang jauh dengan maksud mohon perlindungan baginda yang mulia”, katanya dengan nada penuh harap.
Sambil memandang kepada tamu itu, bagindapun berkata. “Dari manakah kalian berempat ini, dan apa maksud kalian datang ke istan petang - petang begini?. Jika ada kabar penting sampaikanlah, mungkin dapat segera diselesaikan”, kata paduka raja.
“Benar tuanku. Hamba datang dari Desa Ai Sempang, yaitu desa di ujung utara kerajaa baginda. Adapun maksud kedatangan hamba dan kawan - kawan adalah untuk melaporkan bahwa di desa kami ada seorang pemuda bernama Jompong Suar yang selalu menggangu ketentraman di desa kami dan juga ketentraman anak - anak kami”. Kata salah seorang diantara mereka. ”Perbuatan pemuda itu tiada sekedar menggangu tetapi telah sampai kepada merampas dan menjarah barang - barang anak - anak kami tuanku. Mohon perlindunga tuanku”, sambungnya dengan sopan.
Mendengar laporan itu, paduka raja berucap. “Baiklah laporan kalian aku terima. Dan aku percaya bahwa kamu semua benar dan tidak membohongi kami. Besok pemuda itu akan kupanggil. Dan sekarang kamu berempat pulanglah”, kata baginda. Setelah itu keempat orang yang melapor itu pun keluar meninggalkan istana pulang kembali ke Ai Sempang.
Demikianlah, kesesokan harinya tatkala sang surya naik sepenggalah, dibawalah Jompong Suar beserta ayahnya mengahadap paduka raja. Ibarat pesakitan di depan hakim, keduanya duduk bersimpuh.Tiada berapa lama Paduka Raja berucap.
“Hai kalian berdua, manakah di antara kalian yang bernama Jompong Suar?”, tanya baginda. Kemudian Jompong Suar memandang baginda dan menjawab.
“Ampun tuanku. Hambalah yang bernama Jompong Suar dan inilah ayah hamba bernama Pandelala”, kata Jompong Suar.
Baginda raja memandang tajam kepada keduan tamunya tiu. Baginda kemudian berucap.
“Dengarkanlah oleh kalian berdua. Ketenteraman adalah idama semua orang. Perusuh dan penjarah adalah musuh semua orang pula. Beberapa orang telah datang ke istana melaporkan kelakuan yang tidak terpuji”. Kata Raja. Baginda raja berheti sejenak lalu katanya:
“Jompong Suar, engkau adalah perusuh, perampok, bahkan besok kamu akan menjadi pembunuh yang kejam. Engkau telah bersalah besar. Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga engaku kuperintahkan untuk mencari dan membawah ke istana sebatang bambu berbatang perak, berdaun emas, dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai perusuh. Bila kau mendapatkannya aku akan memberiakan hadiah sangat berharga kepadamu. Tetapi jika engkau kembali dengan tangan hampa maka hukuman lebih berat lagi akan kau terima”, kata Baginda tuntas.
Bagai petir menyambar di siang bolong rasanya setelah Jompong Suar mendengar putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh pingsan, untung saja ayahnya cepat memegang pundaknya. Ia bangkit dari tempat duduknya setelah tangannya diangkat untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang tak henti - hentinya Jompong Suar menghela nafas pertanda kesal atas putusan yang dijatuhkan kepadanya, Sebentar - sebentar ia mengeluh memikirkan hukuman yang berat itu. Ayahnya segera menenangkannya. Kata ayahnya:
“Wahai anaku, sabarlah meneriama putusan itu. Yakinlah di balik kesulitan akan datang kemudahan”, kata ayahnya.
“Memang benar apa yang ayah katakan dan anakda akan rela menghadapi cobaan itu. Hanya saja putusan itu terlalu kejam, tidak adil, dan tidak sebanding denga kesalahan yang anakda lakukan”, kata Jompong Suar kesal.
“Sudahlah Nak”, kata ayahnya.”Tidak baik jika terlalu menyesali nasib”, lanjut sejenak. Mereka berdua terdiam sesaat. “Ketehuila anakku bahwa sang Raja sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya seringkali memberikan putusan tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang - kadang lebih kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan”, bujuk ayahnya.
Pada suatupagi sebelum matahari terbit, keluarlah Jompong Suar dari rumahnya setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Dipeluknya ayah dan ibunya. Lepas dari pelukan kedua orangtunya. Jompong Suar sekali lagi membungkuk memberi hormat kepada orangtua yang di cintainya itu. Sekarang Jompong Suar telah memulai pengembaraanya. Sang ayah mengiringi dengan doa, sedang ibunya tak kuasa berucap apa - apa selain isak tangis yang memilukan memikirkan nasib yang akan menimpa anaknya. Kedua orangtua tiu terus mengiringi keberangkatan anaknya dengan pandangan mata, sampai akhirnya Jompong Suar tak terlihat lagi. Kedua orangtua itupun kembali masuk rumahnya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu,dan minggupun berganti bulan telah banyak desa didatanginya mencari berita tentang bambu emas itu. Setiap bertemu orang selalu ditanyainya, namun belum seorangpun dapat menunjukinya. Bahkan banyak yang menyatakan keheranannya mendengar putuan raja yang diberikan kepadanya.
Kini Jompong Suar memutuskan untuk mengembara ke hutan rimba dimana pohon bambu banyak tumbuh. Boleh jadi bambu emas itu dapat ditemukan di antara rumpun bambu yang banyak itu. Tak terhitung bukit yang sudah didaki, tak terbilang lembah yang sudah dituruni namun nasibnya belum beruntung. Sekarang badannya terasa sangat letih. Makanan yang sempat dibawanya telah lama habis. Perutnya hanya diisi buah - buahan yang dipetiknya dari pohon - pohon kayu di hutan. Tiada uang ataupun belanja diberikan ayahnya, kecuali hanya sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Di bahunya tergantung sebuah kantong kecil berisikan selembar kain untuk pembalut tubuhnya tatkala kedinginan.
Tiga purnama sudah dilalui namun belum juga ada tanda - tanda dapat menemukan apa yang dicarinya. Untunglah tiada seekorpun binatang buas yang menggangu dalam pengembaraannya. Dalam berbagai kesulitan itu, Jompong Suar tiada berputus asa. Teringat selalu pesan ayahnya bahwa di balik kesulitan akan datang kemudahan. Kalimat ini membuat jiwanya semakin hidup, tulang belulangnya semakin kokoh dan langkahnya kian mantap. Dalam dirinya tumbuh tekad. Semboyannya adalah jauh berjalan banyak dilihat jauh merantau banyak di dapat. Segar dalam ingatanya pepatah yang mengatakan ‘Berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas’.
Pada suatu siang, di tengah belantara yang tidak pernah terinjak kaki manusia, udaranya panas, tiada angin bertiup, cahaya matahari seakan membakar persada. Karena sangat letihnya Jompong Suar beristirahat di bawah sebatang kayu. Dalam kepenataannya dia akhirnya tertidur. Beberapa lama Jompong Suar tertidurpulas, tiba - tiba dia serentak bangun. Dalam tidurnya dia bermimpi seolah - olah ada yang memanggil namanya.
“Dari manakah datangnya suara itu? Dan siapakah yang menyebut namaku di belantara yang sesunyi ini? Pikirnya. Jompong Suar seolah - olah merasa yakin bahwa mimpinya itu akan ada maknanya. Perasaanya semakin hidup dan bertekad keras akan mencari dari mana datangnya suara itu. Kemudian ia bangkit dan berjalan. Dilengah keheranannya akan suara panggilan tadi diteruskan juga langkahnya mengikuti irama hatinya. Sebuah batu besar menghalang di depannya. Jompong Suar mendekati batu besar itu, mengintari sekelilingnya untuk meneliti.
Dengan tiada diduga sebelumnya tiba-tiba dilihatnya sebuah gua serangkaian dengan batu besar itu. Perasaanya cemas bercampur takut. Tetapi ia berusaha melawan rasa takutnya itu. Ia memberanikan diri dan berjalan perlahan - lahan menghampiri mulut gua. Dan alangkah terkejutnya ketika Jompong Suar melihat jelas di dalam gua itu berdiri seorang gadis remaja cantik jelita. Jompong Suar tertegun sejenak. Hati dan pikirannya belum percaya dengan pandangan matanya. Diusapnya matanya berkali - kali.
“Apakah aku sedang berhayal?”. “Jika benar apakah gadis itu manusia biasa?”. “Atau barangkali sosok Jin penghuni gua ini?”, demikian macam-macam pikira yang muncul di benaknya Jompong Suar terus dihujani berbagai pertanyaan dalam benaknya. “Kalai gadis ini manusia biasa maka anak siapakah gerangan?”. “Dan mengapa pula dia memilih hidup di tempat yang terasing ini?”, tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sebelum berbagai pertanyaan itu terjawab, dengan langkah gontai gadis itu menghampirinya. Dengan suara lembut gadisd itu menyapa.
“Duhai Pangeran!. Sipakah Pangeran sebenarnya?. Dan apakah maksud pangeran datang ke tempat yang jauh, seram, dan angker ini?”, sapanya kepada Jompong Suar. Jompong Suar masih saja terteguh atas segala peristiwa yang dialaminya ini. Ia masih mencoba menyakinkan dirinya bahwa apa yang ada di hadapnya ini bukanlah mimpi. Sambil mencoba untuk menenangkan perasaannya. Sementara itu putri gua yang cantik jelita itu terus menatapnya dengan pandangan malu - malu tetapi penuh harap. Akhirnya Jompong Suar menguasai segenap perasaan dan jiwanya maka barulah ia mencoba menjawab sang putri gua itu.
“Ampun Tuan Putri. Hamba telah berani datang ke tempat ini yang menjebabkan Tuan Putri terusik”. Kata Jompong Suar merendah sebagaimana layaknya seorang rakyat biasa.
“Oh. Tidak apa - apa”, kata gadis itu menghibur. “Saya sangat senang menerima kedatangan Pangeran”, sambungnya.
Kemudian Jompong Suar berbicara. “Tuan Putri, hamba bukanlah seorang Pangeran, hamba bukan dari golongan berdarah biru. Hamba adalah manusia biasa”, kata Jompong Suar menjelaskan kedudukan dirinya. “Nama hamba Jompong Suar anak desa, tuan Puteri.” Setelah mendengar penjelasan itu gadis itupun berkata.
“Wahai kanda Jompong Suar namaku Mandang Wulan. Tetapi panggil saja aku dinda supaya pembicaraan kita lebih akrab”.
Selanjutnya Jompong Suar melanjutka pertanyaan. “Wahai dinda Mandang Wulan. Gerangan apakah sebabnya dinda berada di tempat ini. Jika dinda manusia juga  seperti aku tolong jelaskan kepada kanda siapakah ayah bunda adinda dan di manakah mereka sekarang berada?”.
Sejenak gadis itu terdiam. Matanya berkaca - kaca. Bibirnya yang tipis mungil itu bergetar seolah - olah ia mencoba membendung sesuatu perasaan yang menyesakkan di dadanya. Jompong Suar menatapnys dengan pandangan yang sangat bersahabat, sehingga gadis itu merasa yakin untuk menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah kanda. Akan kuceritakan semuanya. Tetapi sebaiknya kita duduk di dalam saja. Tak baik bercakap sambil berdiri walaupun kita di tengah hutan dan berdua pula”. Gadis itu mengajak Jompong Suar menuju serambi depan gua.
Setelah kedua muda mudi itu duduk berhadapan mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri menarik nafasnya dalam - dalam seakan berpikir dari mana akan dimulai ceritanya. Sejurus kemudian ia berkata.
“Kanda Jompong Suar. Di tempat yang sunyi ini aku hidup sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak obahnya bagai dalam penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman tempat mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun kanda melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku terkonyak dan harapku hampir punah. Rumahku gua angker ini hendak pergi kemana lagi”. Gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata membasahi pipinya yang merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan perasaan dan pikiranya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
“Satu - satunya yang memberiku hidup di tempat ini ialah seorang raksasa wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari - hari kupanggil nenek”, kata MandangWulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika Putri Mandang Wulan menyebut raksasa sebagai nenek.
“Duhai dinda putri jadi engaku ini anak raksasa?. Oh...... kalau begitu sebaiknya aku segera lari dari tempat ini!. “Kata Jompong Suar. Kemudian gadis itu menyambung.
“Tenanglah kanda: dengarlah kisahku sampai selesai. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga bukan jin. Aku takkan sampai hati untuk menipumu”, kata gadis itu, lalu kemudian meneruskan pembicaraan.
“Nenekku akan kembali ke gua setelah matahari terbenam. Karena itu tenangkanlah diri kanda. Aku akan ceritakan lebih jauh tentang diriku ini. Kanda, sebenarnya aku ini adalah putri seorang raja. Tetapi aku bernasib buruk. Dahulu sewaktu aku berjalan - jalan di halaman istana tiba - tiba aku disambar oleh seorang raksasa wanita dan membawaku ke tempat ini. Aku meronta - ronta dan minta tolong tetapi waktu itu tak ada yang mendengarku. Tak seorangpun dari penghuni istana mengetahui kepergianku. Sekarang sudah setahun lamanya aku tersiksa di tempat ini, tinggal menunggu saatnya aku kan mati”. Mandang wulan mengakhiri ceritanya. Air matanya deras mengalir. Segala perasaan berkecamuk di dalam batinya. Rindu ayahda dan bunda, rindu saudara - saudaranya. Teringat saat – saat bahagia bersama ayah bunda dan segenap penghuni istana. teringat inang pengasuhnya yang mengurusnya setiap hari. Sekarang selama setahun hati dan jiwanya kosong. Dengan kehadiran Jompong Suar ada setitik harapan di dalam batinnya. Mungkinkah Yang Maha Kuasa telah datang untuk menolongnya.
Iba hati Jompong Suar mendengar penuturan gadis jelita itu. Seperti halnya Mandang wulan, maka sekarang Jompong Suar mencoba mencoba membagi perasaan dengan Mandang Wulan, Jompong Suar mencoba untuk menceritkan dirinya lebih jauh lagi.
“Dinda Mandang Wulan tercinta. Jika demikian halmu maka dengarlah ceritaku”, kata Jompong Suar. Bergetar hati Mandang Wulan menyimak kata - kata Jompong Suar. Ada perasaan lain yang menyejukkan hatinya. Kemudian Jompong Suar melanjutkan kisahnya.
“Aku ini lelaki yang bernasib buruk tak ubahnya seperti engkau juga. Aku dituduh bersalah besar. Paduka raja memberiku hukuman yang berat. Ya hukuman yang sangat berat yang sebenarnya tak kuasa aku untuk melalukannya. Aku diperintahkan untuk mencari sebatang bambu berdaun emas, berbunga intan. Jika aku menemukan bambu itu maka aku akan beroleh hadiah dari baginda Raja, tetapi jika tidak maka aku akan mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi. Telah habis daratan kudatangi tetapi bambu itu tidak kutemukan. Kini aku mencari di hutan rimba. Itulah sebabnya aku sampai ke tempat ini. Jika tiada akupun takkan kembali walaupun ayah dan ibu menungguku kembali. Demikian dinda kisahku sampai aku berada di hadapanmu sekarang ini”. Jompong Suar mengakhiri kisahnya.
Kini mandang Wulan merasa agak tenang dan terhibur. Sekarang setelah hadir di sampingnya seseorang dimana dia dapat membagi duka derita. Ada perasaan senasib, ada kekuatan batin yang menyatu untuk menembus apapun permasalahan dan penghalang dalam hidup ini. Dua kekuatan yang selama ini beku dan hampir mati, kini saling mengisi kekosongan masing - masing.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Sama benar nasib kita” kata Mandang Wulan memulai lagi pembicaraan. Kata - kata itu kemudian dilanjutkannya dengan senandung syair yang merdu dari bibir seorang Putri raja.
Hendak ku pulang ke kampung halaman
Namun kemana kucari teman
Ingin bertemu ayah bundaku
Siapa pula sudi membantu
Akan halnya Jompong Suar yang mendapatkan tugas berat untuk memperoleh bambu yang berdaun emas dan berbunga intan, yang akan menentukan hidup atau matinya, itulah yang masih tetap membebani pikirannya. Namu tak disangka - sangka oleh Jompong Suar tiba - tiba saja Mandang Wulan memberikannya harapan.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Pucuk dicinta ulam tiba. Segala titah baginda Raja yang dibebankan kepadamu sebagai hukuman itu tentu akan berakhir”, kata Mandang Wulan.
“Oh Dinda Mandang Wulan. Aku tidak mengerti maksudmu”, kata Jompong Suar. “Dengarlah Kanda. Ditempat yang sunyi inilah aku diberi tugas oleh  Nenek raksasa untuk menjaga sebuah bambu seperti yang Kanda maksudkan itu” kata Mandang Wulan melanjutkan.
“Oh. Benarkah kata - katamu Dinda?”, tanya Jompong Suar, tergesa - gesa.
“Benar Kanda, Tak mungkin aku membohongimu. Ayolah Kanda kita kesana untuk mengambilnya”, lanjut Mandang Wulan. Semakin besar harapan Jompong Suar untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka berjalan menuju pohon bambu itu. Jompong Suar tidak menyia - nyiakan waktu. Sebentar saja bambu itu sudah berada di tangannya. Tiada terkira gembira hati Jompong Suar. Ia akan membawah Putri Mandang Wulan pergi ke kampung bertemu dan bersatu dengan orangtuanya. Setelah bambu itu berada di tanganya. Jompong Suar segera mengajak Mandang Wulan untuk meninggalkan tempat itu.
“Wahai Dinda bergegaslah secepatnya. Matahari telah condong ke barat. Sebentar lagi tentu raksasa itu kembali”, kata Jompong Suar. Maka segeralah Mandang Wulan mempersiapkan sesuatu yang mungkin masih dapat dibawanya untuk bekal perjalanan. Terlontarlah harapan kepada Jomong Suar.
“Benar Kanda. Tak tahan aku di tempat ini. Perjumpaan kita yang tak terduga ini adalah petunjuk Tuhan. Bawalah aku kemana saja. Jangan tinggalka aku Kanda. Aku tak ingin berpisah denganmu. Kalau aku harus mati maka biarkanlah aku mati asalkan tetap bersamu, Kanda”, kata Mandang Wulan.
 Keduanya segera meninggalkan gua mereka itu. Mereka membawa bambu berdaun emas dan beebunga intan itu. Bambu itu adalah milik Nenek raksasa tidak sebatangpun terdapat di tempat lain. Bambu itu tingginya hanya sehasta, mempunyai empat ruas dan empat pula buku. Pada setiap buku terdapat sebuah tangkai. Dan di ujung tangkai terdapat sebuah daun emas dan masing - masing mempunyai sebuah kuncup yang warnanya berbeda pula. Tangkai pertama berwara hijau dinamakan kuncup angin. Tangkai kedua berwarna putih dinamakan kuncup air. Tangkai ketiga warnanya merah dinamaka kuncup api. Sedangkan yang keempat berwarna kuning dinamakan kuncup tanah. Dari batangnya keluarlah sinar yang indah lebih - lebih di malam hari. Karena itu siang malam kedua remaja itu terus berjalan berkat adanya sinar terang bambu emas itu menjadi penerang jalan yang dilaluinya.
Setelah tiga hari tiga malam lamanya mereka berjalan menyusuri belantara, tiba - tiba pada hari keempat terdengar oleh mereka suara menakutkan. Putri Mandang Wulan maklum bahwa suara itu adalah suara raksasa. Rupanya rakasasa itu sudah mengetahui kalau Mandang Wulan telah menghilang lari meninggalkan gua. Raksasa itu terbang mengitari hutan mencari cahaya bambu emas kepunyaannya. Mandang Wulan telah melihat raksasa itu datang mengejar mereka. Bagaikan akan tumbang pepohonan disebabkan angin kepakan sayapnya. Jompong Suar mulai kuatir akan keselamatan mereka berdua. Namun tidak demikian dengan Mandang Wulan.
“Kanda berikan bambu itu kepada dinda, agaknya kita dalam bahaya”, ucapnya. Segeralah Mandang Wulan meniup kuncup angin. Maka seketika bertiuplah angin yang sangat kencang dan kuat ke arah raksasa itu. Raksasa itu terlempar dan kemudian terhempas ke tanah. Raksasa itu meraung - raung kesakitan.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Namun tidak lama kemudian raksasa itu datang lagi. Kali ini ia lebih geram. Suara teriakannya menggemuruh menggema seolah - olah akan meruntuhkan seluruh pepohonan yang ada. Raksasa itu kini sangat marah. Jompong Suar sangat ketakutan. Mereka berdua terus saja berjalan berlari, sementara itu raksasa terus mengejar. Ketika raksasa itu sudah semakin mendekat maka berkatalah Putri Mandang Wulan.

“Tenanglah Kanda, jangan jauh dari diriku”, kata Mandang Wulan mantap. Sementara raksasa itu terus mendekat. Mandang Wulan kembali meniup kuncup bambu itu. Kali ini yang ditiup adalah kuncup air. Maka turunlah hujan yang sangat deras disertai petir yang menyambar. Hujan yang deras membuat raksasa itu basah kuyup dan menggigil kedinginan lalu tersungkur jatuh.
Putri Mandang Wulan mengajak Jompong Suar mempercepat perjalanan. Gadis itu yakin bahwa raksasa itu tetap akan mengejar mereka. Mereka terus mempercepat perjalanan. Tepat seperti apa yang dikatakan Mandang Wulan, sekarang raksasa itu kembali mengejar. Terdengar di kejauhan suaranya yang gemuruh melabrak pepohonan. Bunyi pohon patah gemeretak dan batu - batu pecah berhamburan dihantam oleh sang raksasa yang kian marah. Mandang Wulan dan Jompong Suar melihat itu datang dari arah yang berlawanan. Rupanya raksasa itu mengambil jalan melintas untuk menghadang dan menyerap kedua remaja itu. Tampak oleh mereka berdua raksasa itu membawah beberapa potong tali.  Suaranya membelah hutan sekitar.
“Sekarang kalian akan mampus. Akan kuikat leher kalian dan akan kubuang kalian ke tengah laut, agar kalian menjadi santapan buaya”, geramnya.
“Cepatlah Dinda, jangan biarkan dia menghampiri kita. Dia sangat berbahaya kata Jompong Suar.
Segeralah Putri Mandang Wulan mengangkat bambu itu tinggi - tinggi sambil berkata.
“Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat raksasa itu. Kanda biarlah supaya kita aman menempuh perjalanan ini”, kata Mandang Wulan.
Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan keempat ditiupnya secara bersamaan. Yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah ajaibnya dari kuncup sekecil itu bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa yang galak dan jahat itu, sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya. Pekik kesakitan menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya terbelah membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendatipun raksasa yang kuat itu berusaha melepaskan diri tetapi jepitan tanah itu seolah - olah semakin kuat saja menjepitnya. Raksasa itu meraung - raung kesakitan. Tulang belulangnya remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar. Akhirnya sang raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa terteguh juga. Raksasa yang selama lebih dari setahun dipanggilnya dengan nenek itu kini telah tewas. Adajuga kesedihan yang menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah dibuat tersiksa oleh raksasa itu. Selama dalam sekapan raksasa itu sang raksasa ternyata tidak pernah menyakiti tubuhnya. Tetapi raksasa itu tetap saja punya tujuan akhir untuk membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala penderitaan itu. Dalam kelelahan perjalanan itu Mandang Wulan mulai berbicara.
“Kini amanlah perjalanan kita Kanda. Bersyukurlah kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan diselamatkan”, kata Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuu kampung halaman yang letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai putri seorang raja yang masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana tidak banyak mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehinga dalam perjalanan kerap kali dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung atau nama desa yang dilaluinya.

Kangen dan rindu kampung halaman, rindu kepada ayah bunda, dan sanak saudara kian hari kian memuncak. Perjalanan yang sulit, jauh, dan melelahkan itu seolah tidak dipedulikan lagi. Lebih - lebih bahaya yang paling besar telah mereka atasi berdua. Mereka terus berjalan. Akhirnya mereka sampai di batas kota. Tiba - tiba Mandang Wulan bertanya kepada Jompong Suar.
 
“Kanda kalau boleh dinda bertanya di kerjaan mana gerangan tujuan kita sekarang dan siapakah pula paduka raja yang telah menjatuhkan hukuman itu”, tanya Mandang Wulan. Belum sempat Jompong Suar menjawab, Mandang Wulan melanjutkan lagi pertanyaan. “Bagaimana seandainya bambu yang Kanda persembahan ini ditolak oleh dang Paduka Raja, karena boleh jadi tidak serupa dengan bambu yang dimaksudkan?”,
Mendapat pertanyaan itu Jompong Suar terteguh. Memang benar, sekiranya paduka Raja menyatakan bahwa bukanlah bambu itu yang dimaksudkan, maka tentulah sesuai dengan janji baginda bahwa kepadanya akan diberikan hukuman yang lebih berat lagi. Namun hukuman itu tidak jelas dan tidak diketahui bentuknya. Jompong Suar menyadari bahwa Mandang Wulan sedang merisaukan nasib mereka berdua. Sekiranya Jompong Suar mendapat hukuman yang lebih berat tentunya Mandang Wulan akan mengalami nasib yang tidak jelas pula. Akankah dirinya dapat bertemu dengan ayah bundanya atau akan ikut dihukum oleh sang Raja sekiranya raja itu adalah raja yang kejam. Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di dalam diri mereka. Atas pertanyaan Mandang Wulan kemudian Jompang Suar menjawab.
“Tenangkanlah pikiran dan perasaan dinda. Jangan terlalu dipikirkan berbagai nasib buruk yang mungkin kita alami. Bagiku sudah mantap karena dulu ketika menerima hukuman ini dari baginda Raja aku sudah berjanji kepada baginda Raja dan kepada diriku sendiri. Aku akan menanggung apapun akibat dari semua ini”. Kata Jompong Suar menenangkan hati Putri Mandang Wulan.
“Tidak Kanda, akupun akan ikut memikul tanggugjawab. Tak sampai hati dinda membiarkan Kanda menderita seorang diri. Bukankah kita telah berjanji untuk sehidup semati dan takkan berpisah lagi?” ucap Putri Mandang Wulan.
Mendengar itu Jompong Suar kemudian melanjutkan pembicaraan.
“Dinda, untuk langkah awal, sebelum menuju kepada baginda raja dimana kanda akan menyerahkan bambu ini, maka sebaiknya kita berdua meneruskan perjalanan menuju ke kampung halamanmu untuk mengantarkanmu kepada kedua orangtuamu.  Setelah itu barulah aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke istana raja kami yaitu Paduka Raja Buntar Buana”, kata Jompong Suar.
Mendengar itu Mandang Wulan sangat terkejut bercampur gembira karena ternyata Paduka Raja yang menjatuhkah  hukuman kepada Jompong Suar untuk mencari bambu emas itu tidak lain adalah orang tuanya sendiri Raja Buntar Buana.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar.
Bersegeralah mereka menuju ke istana Raja Buntar Buana. Setelah mereka sampai ke pintu gerbang istana, Jompong Suar menjelaskan kepada para pengawal istana akan maksud dan tujuannya ke istana, dan mohon ijin untuk menghadap Paduka Raja Buntar Buana. Maka pengawalpun segera melaporkan kepada Baginda Raja akan adanya tamu yang bernama Jompong Suar berserta seorang gadis remaja yang cantik. Baginda Rajapun segera memerintahkan pengawal untuk mengijinkan Jompong Suar masuk ke istana. Akan halnya Mandang Wulan, tidak ada di antara pengawal yang mengenalnya karena telah setahun lebih sang putri ini menghilang. Mandang Wulan dan Jompong Suar juga mencoba menahan diri untuk tidak memberikan keterangan kepada siapapun tentang sang Putri.
Maka masuklah mereka keruang istana dimana Raja Buntar Buana berada disinggasana kerajaan itu. Di ruang istana telah ada pula permaisuri yaitu ibunda dari Putri Mandang Wulan. Disamping itu segenap menteri dan punggawa juga hadir Jompong Suar dan putri Mandang Wulan segerahlah duduk bersimpuh untuk mengatur sembah. Seluruh isi istana di ruangan itu menatap kepada Mandang Wulan, nampaknya permaisuri tergetar batin dan jiwanya seolah - olah anaknya yang hilang setahun lalu kini ada di hadapannya. Perasaan yang sama dialami juga oleh baginda Raja Buntar Buana dan seluruh unsur pemerintahan istana. Mandang Wulan menatapi kedua ayah bundanya itu. Nampaknya permaisuri tak kuasa menahan perasaanya untuk segera mengetahui siapa sebenarnya gadis yang berseta dengan Jompong Suar yang kini berada di hadapannya. Lalu permaisuri berucap.
“Kakanda Baginda Raja, sungguh wajah gadis ini sangat mirip dengan Putri kita Mandang wulan”, kata permaisuri.
Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri, Mandang Wulan juga sudah tak dapat menahan haru.
“Benar Bunda Ratu dan Ayahanda Raja, hamba adalah Putri Mandang Wulan”, kata sang putri sambil menghambur memeluk kedua orangtuanya itu. Suasana jadi berubah penuh tangis keharuan. Mereka berpelukan penuh kebahagiaan. Putri yang menghilang lebih setahun lalu kini telah kembali. Maka segeralah tersebar berita itu ke seluruh pelosok kerajaan.
Raja Buntar Buana dan seluruh istana serta rakyat kerajaan sangat bersuka cita. Kini Jompong Suar yang dihukumnya telah berhasil melaksanakan hukuman dengan penuh tanggungjawab. Bukan saja bambu itu yang telah diperoleh oleh Baginda Raja, tetapi yang tak ternilai harganya adalah putri baginda Mandang Wulan telah pula ditemukan. Seluruh rakyat mengelu - elukan baginda Raja. Akhir cerita maka cinta kasih yang telah bersemi antara Jompong Suar dan Mandang Wulan segeralah mendapat restu dari baginda Raja dan Permaisuri berserta seluruh keluarga istana. Jompong Suar dianugerahi gelar ‘Pangeran’ dan dikawinkan dengan Putri Mandang Wulan. Mereka berdua kini hidup rukun penuh kebahagiaan.
 

Profil & Lambang Sumbawa Besar

Profil Tanah Kelahiran




Lambang dan Arti

Gambar di atas adalah lambang daerah Kabupaten Sumbawa. Lambang tersebut memiliki arti sebagai berikut:


Perisai
Perisai berbentuk seperti Perisai Pancasila, mewujudkan lambang perjuangan dan perlindungan serta menggambarkan jiwa kepahlawanan yang berdasarkan Pancasila sebagai kepribadian asli Bangsa Indonesia
Bintang
Bintang persegi lima,melambangkan rasa Ketuhanan Yang Maha Esa dari masyarakat Kabupaten Sumbawa.
Kubah
Kubah, melambangkan pandangan hidup keagamaan dari penduduk Kabupaten Sumbawa yang teguh, patuh serta taat melaksanakan Perintah Agamanya.
Padi dan Katub Kapas
Padi dan Katub Kapas, melambangkan Struktur Pemerintah Wilayah kecamatan dan desa/kelurahan.
Menjangan
Menjangan, mengambarkan Binatang (Fauna) spesifik yang terindah di Daerah Kabupaten Sumbawa dan melambangkan keterampilan/ketangkasan dalam gerak pembangunan.
Pita
Pita bertuliskan "Samawa" mengungkapkan nama asli Kabupaten Sumbawa.
Pohon beringin berakar lima
Pohon beringin berakar lima, mengambil pengertian dari tambo penduduk Sumbawa. Tambo itu melukiskan proses sejarah kebudayaan penduduk suku Sumbawa, Taliwang dan Serang yang berpusat di Sumbawa Besar serta mewujudkan keunikan dan percampuran daerah suku Sumbawa asli dengan Mojopahit, Bugis, Makasar dan Banjar yang diwujudkan dalam akar lima.


Tulisan yang berbunyi "Sumbawa" adalah nama Daerah Kabupaten Sumbawa yang berpemerintahan sendiri (otonom).

Ukuran perbandingan lambang Daerah Kabupaten Sumbawa 22 x 30 Cm


Motto Daerah Kabupaten Sumbawa

"SABALONG SAMALEWA"
Artinya: Membangun secara seimbang dan serasi antara pembangunan fisik material dengan pembangunan mental spiritual (Dunia dan Akhirat).



Sasanti Daerah Kabupaten Sumbawa

"B E S A R"
BERSIH, ELOK, SEHAT, AMAN, DAN RAP

Kamis, 15 September 2011

Kisah Sedih Si Gadis Miskin


Sudah menjadi kehendak Allah memberinya cobaan berupa penyakit kronis yang bersarang dan sudah bertahun-tahun ia rasakan. Ini adalah cerita kisah seorang gadis yang bernama Muha. Kisah ini diriwayatkan oleh zaman, diiringi dengan tangisan burung dan ratapan ranting pepohonan.
Muha adalah seorang gadis remaja yang cantik. Sebagaimana yang telah kami katakan, sejak kecil ia sudah mengidap penyakit yang kronis. Sejak usia kanak-kanak ia ingin bergembira, bermain, bercanda dan bersiul seperti burung sebagaimana anak-anak yang seusianya. Bukankah ia juga berhak merasakannya?
Sejak penyakit itu menyerangnya, ia tidak dapat menjalankan kehidupan dengan normal seperti orang lain, walaupun ia tetap berada dalam pengawasan dokter dan bergantung dengan obat.
Muha tumbuh besar seiring dengan penyakit yang dideritanya. Ia menjadi seorang remaja yang cantik dan mempunyai akhlak mulia serta taat beragama. Meski dalam kondisi sakit namun ia tetap berusaha untuk mendapatkan ilmu dan pelajaran dari mata air ilmu yang tak pernah habis. Walau terkadang bahkan sering penyakit kronisnya kambuh yang memaksanya berbaring di tempat tidur selama berhari-hari.
Selang beberapa waktu atas kehendak Allah seorang pemuda tampan datang meminang, walaupun ia sudah mendengar mengenai penyakitnya yang kronis itu. Namun semua itu sedikit pun tidak mengurangi kecantikan, agama dan akhlaknya…kecuali kesehatan, meskipun kesehatan adalah satu hal yang sangat penting. Tetapi mengapa?
Bukankah ia juga berhak untuk menikah dan melahirkan anak-anak yang akan mengisi dan menyemarakkan kehidupannya sebagaimana layaknya wanita lain?
Demikianlah hari berganti hari bulan berganti bulan si pemuda memberikan bantuan materi agar si gadis meneruskan pengobatannya di salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Terlebih lagi dorongan moril yang selalu ia berikan.
Hari berganti dengan cepat, tibalah saatnya persiapan pesta pernikahan dan untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Beberapa hari sebelum pesta pernikahan, calonnya pergi untuk menanyakan pengerjaan gaun pengantin yang masih berada di tempat si penjahit. Gaun tersebut masih tergantung di depan toko penjahit. Gaun tersebut mengandung makna kecantikan dan kelembutan. Tiada seorang pun yang tahu bagaimana perasaan Muha bila melihat gaun tersebut.
Pastilah hatinya berkepak bagaikan burung yang mengepakkan sayap putihnya mendekap langit dan memeluk ufuk nan luas. Ia pasti sangat bahagia bukan karena gaun itu, tetapi karena beberapa hari lagi ia akan memasuki hari yang terindah di dalam kehidupannya. Ia akan merasa ada ketenangan jiwa, kehidupan mulai tertawa untuknya dan ia melihat adanya kecerahan dalam kehidupan.
Bila gaun yang indah itu dipakai Muha, pasti akan membuat penampilannya laksana putri salju yang cantik jelita. Kecantikannya yang alami menjadikan diri semakin elok, anggun dan menawan.
Walau gaun tersebut terlihat indah, namun masih di perlukan sedikit perbaikan. Oleh karena itu gaun itu masih ditinggal di tempat si penjahit. Sang calon berniat akan mengambilnya besok. Si penjahit meminta keringanan dan berjanji akan menyelesaikannya tiga hari lagi. Tiga hari berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya hari pernikahan, hari yang di nanti-nanti. Hari itu Muha bangun lebih cepat dan sebenarnya malam itu ia tidak tidur. Kegembiraan membuat matanya tak terpejam. Yaitu saat malam pengantin bersama seorang pemuda yang terbaik akhlaknya.
Si pemuda menelepon calon pengantinnya, Muha memberitahukan bahwa setengah jam lagi ia akan pergi ke tempat penjahit untuk mengambil gaun tersebut agar ia dapat mencobanya dan lebih meyakinkan bahwa gaun itu pantas untuknya. Pemuda itu pergi ke tempat penjahit dan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi terdorong perasaan bahagia dan gembira akan acara tersebut yang merupakan peristiwa terpenting dan paling berharga bagi dirinya, demikian juga halnya bagi diri Muha.
Karena meluncur dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut keluar dari badan jalan dan terbalik berkali-kali. Setelah itu mobil ambulans datang dan melarikannya ke rumah sakit. Namun kehendak Allah berada di atas segalanya, beberapa saat kemudian si pemuda pun meninggal dunia. Sementara telepon si penjahit berdering menanyakan tentang pemuda itu. Si penjahit mengabarkan bahwa sampai sekarang ia belum juga sampai ke rumah padahal sudah sangat terlambat.
Akhirnyai penjahit itu tiba di rumah calon pengantin wanita. Sekali pun begitu, pihak keluarga tidak mempermasalahkan sebab keterlambatannya membawa gaun itu. Mereka malah memintanya agar memberitahu si pemuda bahwa sakit Muha tiba-tiba kambuh dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Kali ini sakitnya tidak memberi Muha banyak kesempatan. Tadinya sakit tersebut seakan masih berbelas kasih kepadanya, tidak ingin Muha merasa sakit. Sekarang rasa sakit itu benar-benar membuat derita dan kesengsaraan yang melebihi penderitaan yang ia rasakan sepanjang hidupnya yang pendek.
Beberapa menit kemudian datang berita kematian si pemuda di rumah sakit dan setelah itu datang pula berita meninggalnya sang calon pengantinnya, Muha.
Demikian kesedihan yang menimpa dua remaja, bunga-bunga telah layu dan mati, burung-burung berkicau sedih dan duka terhadap mereka. Malam yang diangan-angankan akan menjadi paling indah dan berkesan itu, berubah menjadi malam kesedihan dan ratapan, malam pupusnya kegembiraan.
Kini gaun pengantin itu masih tergantung di depan toko penjahit. Tiada yang memakai dan selamanya tidak akan ada yang memakainya. Seakan gaun itu bercerita tentang kisah sedih Muha. Setiap yang melihatnya pasti akan bertanya-tanya, siapa pemiliknya.? nasih memang ga ada yg tau guys..sama2 berdo'a aja yuks kita smua mndpat yg terbaik..amiiiiiinnnn

Jumat, 09 September 2011

CERITA PILU SI BALITA DI KEBUN TEBU GAGAL DIPERKOSA, MALAH DIBUNUH TETANGGANYA


CERITA PILU SI BALITA DI KEBUN TEBU
GAGAL DIPERKOSA, MALAH DIBUNUH TETANGGANYA

KLIK - Detail Di tengah kebun tebu, balita ini mengalami nasib malang. Ia memang lolos dari percobaan perkosaan, namun nyawanya malah melayang. Kenapa?

Warga Desa Sengon, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada Rabu (29/6) pagi mendadak gempar. Tiba-tiba saja, Riska Yulinda (4) anak pasangan Sumanan dan Sri Mulyani, raib, tak lama setelah bermain dengan teman-temannya di depan masjid sebelah rumahnya. Sumanan dan Sri Mulyani, yang baru saja melahirkan anak ketiganya seminggu sebelumnya, tentu saja menjadi panik.

"Sehari-hari Riska tak pernah bermain jauh dari rumah. Jadi, ketika menghilang dari rumah, kedua orang tuanya sangat kaget. Warga juga ikut panik. Mereka mencari Riska ke mana-mana," kata Ririn Andriana (23), tetangga sebelah rumah Sumanan. Warga yang mencari, salah satunya remaja bernama Laq (16), yang tinggal di depan rumah keluarga Riska.

Kepanikan semakin memuncak ketika sampai sore, Riska belum juga muncul di rumah. "Saat itu situasi kampung benar-benar mencekam. Orang-orang berkumpul di sekitar rumah Mbak Sri, ikut membantu mencari ke sana kemari. Mbak Sri sendiri tak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis," timpal Miftahul Rohma (22) tetangga Sri yang lain.

DIKIRA PISANG BUSUK
Malam semakin merayap, Riska seakan lenyap ditelan gelap. Orang-orang kampung menduga, anak kedua pasangan Sri-Sumanan itu digondol makhluk halus, seperti kepercayaan orang-orang zaman dulu. Oleh karena itu, agar makhluk halus bersedia mengembalikan bocah berwajah cantik ini, warga membunyikan tetabuhan berkeliling kampung.
KLIK - Detail
"Beberapa warga memukul panci, piring, wajan sambil keliling di sekitar semak-semak bambu di sekitar rumah Mbak Sri. Sebagai bagian ritual, para remaja ikut berjoget-joget. Masyarakat percaya, setelah mendengar bunyi-bunyian itu, Riska akan dikembalikan oleh makhluk halus. Tapi, malam iti Riska tetap tak ditemukan," imbuh Miftahul.

Memasuki hari kedua, lanjut Ririn, kedua orang tua Riska semakin ditekan gelisah. Kondisi fisik Sri yang lemah setelah melahirkan, semakin menurun saja. "Pokoknya tiada hari tanpa menangis, demikian juga dengan bapaknya."

Sampai hari ketiga, jejak Riska seperti hilang ditelan bumi. Sampai akhirnya pada malam hari, warga sekitar mencium bau tak sedap dari arah timur desa, tepatnya dari kebun tebu yang saat itu tengah dipanen. "Namun, warga desa menyangka, itu bau pisang busuk dari pekarangan. Jadi, dibiarkan saja," papar Ririn.

Warga mulai curiga ketika pagi hari, bau busuk tadi semakin menyengat. Mereka pun mencari asal bau. Setelah diselidiki, ternyata bau tak sedap itu berasal dari gundukan tumpukan daun tebu kering. "Setelah dibuka, ternyata di bawah daun kering itu terdapat mayat Riska yang kondisinya sudah rusak," tambah Miftahul.

Warga jadi geger. Dugaan kuat, Riska jadi korban pembunuhan. Namun, siapa pelakunya? Polisi yang menerima laporan ini segera menyelidiki. Hanya dalam waktu singkat, polisi menangkap Laq. "Setelah kami selidiki, ada bocah bernama Bilal yang Rabu pagi itu melihat Laq mengajak Riska. Setelah itu, keberadaan Riska tak diketahui lagi," papar Kepala Bagian Operasional Reskrim Polres Jombang, Iptu Abdul Syukur.

Abdul menjelaskan, pihaknya segera menangkap Laq yang rumahnya berhadapan dengan korban. "Pelaku telah mengakui perbuatannya. Semula ia mengaku ingin memerkosa Riska. Karena Riska berteriak, pelaku takut perbuatannya ketahuan warga. Ia pun panik dan mencekik korban hingga tewas."

Atas perbuatannya itu, Laq dijerat dengan berbagai pasal. Di antaranya pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, pasal 285 tentang pemerkosaan serta pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak. "Karena tersangka masih di bawah umur, akan diberlakukan peradilan anak. Hukuman yang dijatuhkan, sepertiga dari hukuman orang dewasa. Tapi, itu terserah hakim dan di luar kewenangan kami."

KLIK - DetailTAKUT KETAHUAN
Kepada NOVA, Rabu (6/7) Laq juga mengakui perbuatannya. "Saya khilaf, Pak," ujarnya. Remaja yang pendidik annya hanya sampai kelas 2 SMP ini menceritakan rentetan peristiwa yang membawanya masuk tahanan. "Saat itu, Riska tengah bermain-main di depan masjid sebelah rumahnya bersama Bilal, teman sebayanya. Melihat dia, entah kenapa saya ingin mempraktikkan adegan yang saya lihat di VCD porno, beberapa waktu lalu."

Agar aksinya tak diketahui orang, Laq mengajak Riska ke kebun tebu berjarak sekitar 200 meter sebelah timur rumahnya. Tebu di sana baru saja dipanen. "Ris, ayo minta tebu di sana," ajak Laq kepada Riska.

Si kecil Riska yang memang sudah kenal Laq, tak tahu niat buruk tetangganya itu. Ia mau saja diajak Laq di tengah rerimbunan pohon tebu. Setelah tengok kanan-kiri tak ada orang, "Saya merebahkan Riska," ujar Laq yang sempat membuka pakaian dalam Riska.

Belum sempat Laq melampiaskan nafsunya, Riska mendadak menangis. "Saya jadi panik karena takut ketahuan orang. Saking paniknya, saya mencekiknya. Dia berusaha meronta tapi tak bisa," aku Laq.

Di antara rerimbunan batang tebu yang tumbuh lebat, Laq mengaku melihat bagaimana Riska meregang nyawa. Sebelum Riska menutup mata, Laq masih sempat melihat bocah cilik itu meneteskan air mata tanpa bisa berkata apa-apa. "Setelah Riska lemas, saya sempat melepaskan cekikan. Tapi, setelah saya pegang dadanya, kok, masih ada napasnya. Jadi, saya cekik lagi sampai benar-benar mati," ujar Laq.

Selanjutnya, Laq menutupi mayat Riska dengan daun tebu kering dan meninggalkan begitu saja. "Setelah itu saya merasa ketakutan dan sangat menyesal," ujar Laq yang mengaku tak memerkosa karena ketakutan.
WARGA IKUT TERPUKUL
Begitulah, seperti telah dikisahkan, ditemukannya mayat Riska membuat masyarakat geger. Tentu saja yang paling terpukul adalah orang tuanya. Begitu terpukulnya, Sumanan dan Sri Mulyani sama sekali tak bersedia berkomentar. Salah seorang kerabat Sri Mulyani, menyampaikan keberatan ketika mau diwawancarai. "Maaf, Mbak Sri masih syok, dia tak bisa diganggu," ujar wanita bertubuh mungil itu.
KLIK - Detail
 Memang Sri tampak terpukul. Ia hanya diam seribu bahasa. Ia berdiri di sudut dapur sambil menutup wajahnya. Ia sama sekali tak menanggapi semua pertanyaan NOVA. Sumanan pun enggan berkomentar. Penjual ikan segar di pasar itu ketika ditemui NOVA tengah menjemur pakaian. Saat disapa, ia bergegas pergi dan masuk kembali ke rumah. "Maaf, jangan tanya saya. Saya masih syok dengan kejadian ini," katanya sambil menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Jangankan orang tuanya, warga pun ikut terpukul dengan kepergian Riska. "Dia begitu cantik dan lucu. Matanya indah sekali. Jarang sekali saya melihat dia rewel. Saya, kan, terkadang membantu kakak saya menjaga toko milik kakak saya, yang menjual makanan kecil. Nah, saat Riska jajan, sering saya menggodanya. Pokoknya, Riska lucu sekali," papar Miftahul.

Miftahul dan Ririn mengaku sama-sama terkejut ketika mengetahui pembunuhnya adalah Laq. "Warga kampung benar-benar kaget. Kok, tega-teganya Laq membunuh Riska. Padahal, sehari-hari dia, kan, cukup dekat dengan Riska dan keluarganya," ujar Ririn.

Miftahul menambahkan, Laq termasuk pintar bersandiwara. Ketika warga bingung mencari Riska, Laq juga kelihatan ikut bingung. "Bahkan dia juga ikut joget-joget ketika orang berkeliling sambil memukul bunyi-bunyian dari peralatan dapur. Sungguh tak kami sangka, ternyata dialah pelakunya.

KLIK - Detail "SEHARI-HARI DIA TIDAK NAKAL"
Orang tua Laq, pasangan Muchlisin (45) dan Paining (35) tak kalah terpukul mendengar musibah ini. Saat ditemui di belakang rumahnya, Muchlisin yang sehari-hari jadi tukang batu mengaku syok berat. "Meski berat, saya mencoba kuat menghadapi musibah ini. Berbeda dengan istri saya, begitu dia ingat kejadian ini, dia langsung pingsan," ujar bapak tiga anak ini, Rabu (6/7).

Sangat wajar Muchlisin terpukul. Apalagi hubungannya dengan keluarga Sumanan, selama ini terjalin baik. "Rumah kami, kan, berhadapan persis. Hanya dipisahkan jalan kampung selebar empat meter. Tidak sekadar tetangga, hubungan kami dengan Mas Sumanan sudah seperti keluarga sendiri.

Dikatakan Muchlisin, selama ini Sumanan sangat peduli dengan keluarganya. Sepulang dari pasar, kalau dagangan ikan tidak laku, "Ia memberikannya kepada istri saya. Pokoknya, hubungan kami sangat dekat," ujar pria berkumis lebat ini.

Sama sekali Muchlisin tak men-duga, anaknya adalah tersangka tung-gal dalam kasus pembunuhan itu. "Se-hari-hari Laq enggak nakal. Selain pendiam, ia juga taat beribadah. Jadi, siapa yang mengira dia sampai berbuat seperti itu. Sikapnya juga enggak mencurigakan. Saat Riska diketahui hilang, Laq ikut ribut mencari di setiap sudut kampung."

KLIK - Detail Dalam pandangan Muchlisin, Laq juga termasuk anak yang rajin membantu orang tua. Setelah keluar dari pekerjaannya di perusahaan ternak ayam di Perak, Jombang, Laq juga
sempat membantu ayahnya sebagai kuli batu di rumahnya sendiri. "Untuk membangun rumah ini, saya yang jadi tukang, sedang dia yang menjadi kulinya," kata Muchlisin.

Itu sebabnya, Muchlisin sangat terkejut ketika Laq diciduk polisi sesaat setelah jasad Riska ditemukan. Muchlisin sempat menasihati Laq, "Kalau kamu merasa tak bersalah, katakan tak bersalah. Tapi, bila memang kamu pelakunya, berkatalah dengan jujur."

Muchlisin masih berharap, po-lisi salah tangkap. Namun, pada sorenya, ia sangat gundah saat polisi mengungkapkan, Laq sudah meng-aku sebagai pembunuhnya. "Tak bisa dibayangkan perasaan saya kala itu. Rasanya seperti mimpi saja," ujarnya.

Sebagai bentuk tanggung jawab moral atas perbuatan yang dilakukan anaknya, selang sehari kemudian Muchlisin didampingi ketua RT setempat mendatangi rumah Sumanan. "Saya minta maaf atas kesalahan anak saya. Alhamdulillah Mas Sumanan menerima perminta-an maaf saya. Saya terharu sekaligus berterima kasih," kata Muchlisin yang duduk di kursi kayu di antara pohon pisang di belakang rumah-nya.wah...dunia skrang ya guys....
 

Kasih Sepanjang Jalan

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.