Kalau Dengan Berbagi Bisa meringankan beban..kenapa tidak..!! Kalau Dengan Bercerita Sy merasa tidak sendiri kenapa tidak..!! & Bila Mendengarkan pun Suatu Keharusan dlm hidup Kenapa tidak..!!
Selasa, 29 Januari 2013
Melo drama di negeri komunis
PEREMPUAN terindah itu meluncur di atas es, setiap kali melewatiku dari tangannya muncul seekor burung merpati. Lapangan es di dalam tenda pertunjukan akrobat itu putih menyilaukan dalam cahaya lampu, membuat perempuan yang meluncur itu di mataku seperti keluar-masuk tabir cahaya, membuatnya terlihat seperti bidadari, barangkali, jika bidadari memang ada — di negeri ini segala sesuatu yang tidak kelihatan ujudnya tiada pernah diterima sebagai makna.
Tapi, aku telanjur mengenal kata bidadari sehingga perempuan terindah yang meluncur dengan satu kaki terangkat ke belakang dan mengembangkan tangan itu memang bagiku tampak sebagai bidadari, sesuatu yang muncul dari balik ketiadaan, begitu tiba-tiba dan penuh pesona, apalagi setiap kali melewati tempatku memotret, dari tangannya muncul burung merpati, seolah-olah merpati itu hanya untukku.Setelah dua belas putaran, dua belas ekor pula burung merpati keluar dari tangannya, terbang mengikutinya seolah-olah memang memperpuan perempuan itu.
Segenap merpati itu putih, busana berkilatan perempuan itu putih, dan perempuan itu sendiri juga putih seputih-putihnya putih. Segalanya serbaputih seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada warna lain, namun putih di dalam tenda ini adalah lebih baik dari kelabu. Di luar tenda ini, segalanya kelabu, gedung, jalanan, tatapan mata, semuanya kelabu. Hanya bendera-bendera raksasa berwarna merah, berkibar-kibar menggetarkan….”Tunggu aku di belakang, setelah pertunjukan,” katanya.
Begitulah, aku memotret, dan nanti aku akan menunggu. Dua belas merpati hinggap di tangannya yang mengembang. Ia menurunkan kakinya, dan meluncur mundur. Sorot lampu mengiringi ke mana pun ia pergi. Apakah yang sedang diberikan oleh perempuan yang meluncur dengan dua belas merpati di kedua lengannya itu? Keindahan? Ketenangan? Kebahagiaan? Senyumnya mengembang. Ia seorang perempuan yang betul-betul cemerlang. Sampai di manakah kiranya kecemerlangan bisa memudarkan penderitaan dalam kemiskinan?
Klik!
Kupindahkan ia ke dalam duniaku.
***
“Manusia adalah tuan dari segalanya,” ujarnya suatu ketika kepadaku,
“itulah ajaran pemimpin kami.”Aku tertegun.
“Segalanya?”
“Ya. Segalanya. Pada masa penjajahan Jepang, rakyat kami memohon pertolongan Tuhan, tapi tidak terjadi perubahan apa-apa, jadi pemimpin kami mengatakan, segala sesuatu harus diperjuangkan oleh manusia, dengan menggunakan akal dan alat apa pun yang ada di sekitar kita. Ternyata perjuangan manusialah yang berhasil mengusir penjajah. Jadi, meskipun memuja Tuhan atau apa pun yang gaib tidak dilarang, pemimpin kami berpendapat hanya usaha manusialah yang bisa mengubah nasibnya sendiri.”1
Kulihat patung raksasa pemimpin negeri ini.
“Rakyat negeri kami sangat berterima kasih dan merasa sangat berutang budi kepada pemimpin kami, patung dan berbagai monumen di kota ini merupakan bukti kecintaan rakyat kami kepada sang pemimpin. Betapa pun beliau telah membimbing kami keluar dari nestapa penjajahan, sehingga kami sekarang bisa merasakan apa artinya hidup bahagia.”
Bahagia. Bukankah itu yang dicari manusia?
“Beliau adalah pemimpin abadi kami.”
Hmm. Abadi.Di Balai Pembelajaran Rakyat kulihat banyak orang duduk dengan tekun. Mereka yang tidak mengerti isi buku yang dibacanya, boleh datang ke ruangan Tanya dan Jawab yang jumlahnya 250 kamar, tersebar di segenap lantai gedung mahabesar itu, dengan tiang-tiang raksasa, lantai marmer, dan lagi-lagi patung sang pemimpin dalam ukuran megah. Di setiap kamar tersedia seorang profesor, yang akan menjawab semua persoalan yang tidak bisa dimengerti oleh para pembaca buku itu. Segala bidang ilmu pengetahuan bisa dipelajari di dalam gedung itu, mulai matematika, sejarah, sampai bahasa — namun apabila pertanyaan mempersoalkan gagasan-gagasan sang pemimpin yang termuat dalam 5.000 risalah, maka jawabannya akan selalu mengarah kepada simpulan: sang pemimpin adalah kebenaran.
“Amerika selalu jahat kepada kami,” katanya lagi, “mereka selalu memberikan kesan yang buruk tentang kami kepada dunia.”
Baik dan buruk, benar dan salah — bagaimanakah hal itu boleh menjadi pasti? Kulihat sekeliling, meski wajah semua orang bagaikan serupa, tidak ada fesyen, dan negara berada di dalam kamar, anak-anak kulihat berlari-lari dengan pikiran bebas. Tapi sampai kapan?
“Sampai kapan?”
“Apanya?”
“Sampai kapan anak-anak hidup tanpa pengarahan negara?”
“Sampai mereka sekolah. Di negeri kami, sekolah adalah wajib dan gratis. Juga masih gratis di perguruan tinggi, meski tidak wajib lagi. Pemimpin kami sangat peduli kepada kesejahteraan jiwa, otak, maupun raga rakyat negeri ini.”
Barangkali kudengar. Barangkali tidak. Pikiranku tertuju kepada seorang perempuan yang tadi pagi kulihat di televisi: seorang perempuan yang meluncur di atas es dengan dua belas merpati yang hinggap pada kedua lengannya yang terkembang.Ia sekarang berada di hadapanku, tapi dengan tanda bintang di topinya itu, kenapa ia jadi begitu berubah. Ia tidak sedang memainkan peran dalam opera rakyat. Bila sedang tidak meluncur di atas es ia selalu mengenakan seragam Pengawal Merah. Seragam itu berwarna cokelat tua kehijau-hijauan, seperti bumi dan langit dibanding warna putih kemilau jika ia meluncur di atas es dengan kaki terangkat ke belakang dan tangan terkembang.Manakah yang lebih baik antara bumi dan langit? Aku tak tahu, namun matanya itu, matanya itu — di sebuah negeri di mana keajaiban dianggap kegaiban yang terlarang, bagaimanakah mata yang menatap dengan tajam, cemerlang, dan penuh gairah harus diberi nama?Ia tersenyum, memegang tanganku sebentar, lantas hilang ditelan pintu gedung besar yang menganga dan seperti tidak akan pernah mengeluarkan orang yang sama ketika keluar lagi. Begitu banyak orang masuk ke gedung itu, tapi ketika keluar lagi mereka semua seperti serupa.
***
“Jangan marah,” katanya di telepon.
“Kenapa?”
“Barangkali aku tidak akan datang.”
Kami berjanji untuk bertemu di Lapangan Sang Pemimpin, di depan gedung dengan lambang palu, sabit, dan pena.Ia tidak usah mengatakan barangkali. Ia pasti tidak akan datang. Maka kudatangi tenda hiburan rakyat yang juga gratis itu, menembus gelap malam dalam kota yang nyaris tiada berlistrik. Dari jauh ia sudah melihatku datang, ia berlari seperti kijang, membawaku hilang ke balik kegelapan.
“Mengapa kamu datang? Mengapa kamu datang? Apakah kamu tidak tahu kalau kamu selalu diawasi?”
Suaranya merupakan perpaduan antara cemas, gelisah, dan senang. Apakah yang harus kukatakan? Di negeri ini, segala gagasan adalah konkret, tidak ada yang abstrak. Perlambangan adalah pasti, dan tidak bisa ditafsir lain. Aku tidak mengerti kenapa aku datang. Apakah ia bisa mengerti, tentang seseorang yang tidak bisa mengerti? Adakah sesuatu yang bisa dimaklumi di luar kesadaran?Jika memotret saja tidak cukup, apalagi yang bisa dilakukan seorang tukang potret? Meski hanya seorang tukang, aku tidak bisa bersikap sekadar sebagai tukang. Harus ada alasan yang kuat untuk memotret maupun tidak memotret sesuatu, dan tentu juga ada alasan yang kuat untuk membuatku menembus tirai nilai. Musik orkestra di dalam tenda sudah berbunyi — tidakkah ia mestinya sudah berloncatan dari ayunan satu ke ayunan lain di ketinggian?
“Mengapa kamu datang? Mengapa kamu datang?”
Pertanyaan itu mengiang, meski ia tidak mengucapkannya lagi. Kulihat melodrama di matanya, air mata menggenang berkilatan. Bibirnya merah dan basah.Aku tidak perlu menjawab, karena tangannya merengkuh leherku.Kurasa mulutnya bau kimchi.
***
Enam belas tahun kemudian, sambil menyandang kamera digital, aku menunggu di depan gedung dengan lambang palu, sabit, dan pena itu lagi. Palu dan sabit adalah lambang buruh dan petani, lambang kelas pekerja, sedangkan pena adalah lambang kaum intelektual.
“Semangat kerja saja tidak cukup,” katanya dulu, “menurut pemimpin kami perjuangan juga memerlukan intelektualitas.”
Patung pemuda dan pemudi yang tangan kanannya mengacungkan bedil, pistol, palu, dan sabit, tangan kirinya sering juga membawa buku.Enam belas tahun telah berlalu, apakah cara berpikirnya masih sama? Saat itu, di bawah pagoda Buddha pernah kutanya kepadanya.
“Tentu kamu tidak percaya kepada Buddhisme lagi?”
“Aku memang tidak pernah percaya,” katanya, “aku hanya percaya kepada diriku sendiri.”
Dunia sudah banyak berubah, mungkinkah ada yang tidak berubah?Di samping kiri dan kanan gedung itu, masih terdapat potret besar Karl Marx dan Lenin.
“Di sebelah mana? Di bawah gambar Marx atau Lenin?”
“Marx,” kataku.Entah kenapa aku seperti ingin menjauhi gambar Lenin, yang telah membuat pemikiran Marx bersimbah darah. Sambil menunggu di bawah lampu terang benderang, kupandang fotonya. Ia sedang meluncur di atas es, dan matanya menatap ke arahku. Sebagian dari dua belas merpati itu hinggap di lengannya yang terkembang, sebagian lagi masih beterbangan mengikutinya.Setelah aku memotretnya enam belas tahun yang lalu, ia memang tidak pernah muncul ke belakang panggung. Aku menunggu seperti orang tolol sampai pertunjukan selesai, dan ia tidak pulang bersamaku. Hatiku hancur ketika itu, meski barangkali tidak terlalu banyak alasan untuk memunyai perasaan begitu.Kemudian, dari balik kegelapan, dari tangga jalan kereta api bawah tanah, muncul sesosok tubuh yang berjalan terpincang-pincang.
Aku terpana. Aku begitu kagum kepada seorang penari di atas es yang bisa terbang ke atas langsung meloncat dari ayunan satu ke ayunan lain dengan ringan, seperti betul-betul terbang, sehingga aku nyaris mengira ia betul-betul seorang bidadari — sangatlah jarang kemampuan seperti itu sekaligus dimiliki satu orang. Kini ia muncul dengan sebuah kruk di ketiaknya. Ia tidak lagi mengenakan seragam tentara dengan topi berbintang. Ia berbusana seperti petani, dengan caping dan celana khaki.Di bawah potret raksasa Marx, segalanya menjadi jelas bagiku.”Kamu tidak tahu apa yang terjadi waktu itu — orang yang bertugas mengikuti kamu melaporkan perbuatan kita kepada atasanku, pemimpin rombongan akrobat yang sudah berkali-kali merayuku tanpa pernah berhasil. Kecemburuannya meledak menjadi usaha mencelakakan diriku. Ia telah mengerat tali ayunan yang dilemparkannya kepadaku, sehingga aku terjatuh ketika memegang pipa ayunan tempat kakiku biasa bergelantungan. Kami tidak pernah menggunakan jaring pengaman, karena kami sangat percaya kepada kemampuan kami yang terlatih. Perasaan cemburu tidaklah pernah menjadi bagian yang diperhitungkan disiplin berpikir kami.
“Aku terbayang bagaimana ia jatuh. Penonton yang tersentak melihat pipa itu lepas, dan bagaimana perempuan terindah yang berkilauan itu melayang ke bawah. Jatuh dari ketinggian seperti itu, hanya Tuhan yang tahu kenapa ia masih hidup. Gambaran tentang bagaimana ia jatuh itu terbayang berkali-kali dalam waktu yang singkat, berkeredapan dalam kepalaku seperti pijar lampu kilat. Seandainya ia bersayap, benar-benar bersayap, sehingga ia benar-benar bisa terbang seperti ia benar-benar bidadari. Seandainya, tapi apakah materialisme dialektik yang dianut negeri komunis ini memberi tempat kepada gagasan tanpa bentuk?3
“Kamu memang tidak tahu, karena tidak boleh ada yang terlihat buruk di negeri kami. Aku dilarikan ke rumah sakit lewat pintu yang lain, karena mereka tahu aku berhubungan dengan seseorang yang tidak jelas identitasnya. Bahkan aku pun tak tahu kamu itu siapa. Di negeri ini, gagasan tentang ketidakjelasan adalah sesuatu yang harus dijauhi, atau dihapuskan sama sekali, seperti bagaimana menghapuskan apa yang kamu sebut Tuhan….”
Lagu-lagu mars yang memuja Sang Pemimpin masih terdengar dari pengeras suara di kejauhan. Marxisme. Betapa gawat dalam pelintiran Leninisme. Apakah ia mengenal Lukacs dan Gramsci? Apakah negeri ini mempelajari Althusser dan mengenal Sekolah Frankfurt?4Aku tercenung, sementara ia terus bercerita. Setelah diadakan penyelidikan atas insiden itu, kejahatan atasannya diketahui, dan langsung mendapat hukuman memasuki lembaga reformasi selama sepuluh tahun, untuk mengevaluasi kembali kelakuannya.5 Namun, ia yang telah menjadi cacat tidak bisa berperan seperti bidadari lagi, bahkan karena cacatnya ia harus tinggal jauh di luar kota — tak pernah jelas apa alasannya. Padahal di negeri ini untuk bepergian antarkota saja memerlukan izin. Untuk menemuiku sekarang, ia memerlukan seribu satu izin, itu pun pasti berbohong, karena ia tidak mungkin berkata jujur telah mencintai seseorang yang bukan suaminya.Kulihat wajahnya yang kini penuh dengan kerut, bagiku ia selamanya indah seperti ketika pertama kali aku mengenalnya. Perasaanku tidak pernah berubah, tapi beberapa jam lagi aku harus pulang ke negeriku.
Pulang. Aku tidak selalu suka kata itu, meski suka atau tidak suka aku harus selalu pulang ke suatu tempat entah di mana. Terus terang, sebetulnya aku tidak pernah tahu harus pulang ke mana — itulah sebabnya aku selalu mengembara.Kuserahkan foto itu kepadanya. Ia menghela napas memandang dirinya meluncur dengan satu kaki di lapangan es yang putih, muncul dari balik tabir cahaya dengan busana putih berkilauan. Kedua tangannya terkembang dengan sebagian dari dua belas merpati itu hinggap dan sebagian lagi masih beterbangan mengikutinya. Ia memandang dirinya sendiri yang sekarang sedang menatap kepadanya.Aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Lagu-lagu mars sudah berhenti. Lapangan Sang Pemimpin itu sepi, hanya Marx dan Lenin dalam kesunyian lampu-lampu. Seluruh kota masih gelap seperti dulu.Ia mengangkat wajahnya dari foto itu, dan menatapku. Enam belas tahun kemudian, masih juga kulihat melodrama di matanya yang berlinang-linang.
Pyongyang, 29 Agustus 2002, 23.35
Catatan Kaki:
1. Falsafah ini disebut Gagasan Juche, yang berlaku sebagai ideologi negara Republik Rakyat Demokratik Korea: manusia adalah tuan dari segala sesuatu dan menentukan segalanya, dengan kreativitas dan kesadaran (Chajusong), yang sebagai makhluk sosial harus mengubah dunia demi kepentingan massa. Penggagas falsafah ini adalah Kim Il Sung. Baca misalnya Kim Jong Il, On The Juche Idea (1982).
2. Kimchi: makanan khas Korea.
3. Lenin dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), telah keliru mengatasnamakan Marxisme sebagai ‘materialisme dialektik’, seperti disalahpahaminya dari Plekhanov, karena mentornya tersebut lebih melakukan pendekatan dialektik daripada materialis. Plekhanov sendiri menggunakan istilah ‘materialis dialektik’. Menurut David Hawkes dalam Ideology (1996), keduanya tersesat dalam memahami Marx. Rincian terdapat pada bab ‘Marxism’, h. 106-9.
4.Menurut Kim Jong Il, Kimilsungisme yang berdasarkan Juche harus dibedakan dari Marxisme-Leninisme. Namun risalah Kim Jong Il, On Correctly Understanding The Originality of Kimilsungism (1984), lebih banyak merupakan pernyataan daripada perbincangan kritis. Pembaca buku Kim Il Sung, On Juche in Our Revolution (1982), juga akan menemukan jalan pikiran yang selalu mengacu kepada komunisme.
5. Baca Bab 8, Pasal 1, Ayat 145 dalam The Criminal Law of the Democratic People’s Republic of Korea (1992), h. 26-7.
Senin, 28 Januari 2013
THE PANCER "Badai duka dan Amanah "
Di tepi laut aku berdiri sambil
menatap indahnya ombak yang bergemuruh menghantam batu karang yang kuat
tetapi batu karang tidak menangis melainkan diam seribu bahasa tanpa mau
marah kepada ombak yang selalu menyerangnya bertubi tubi tanpa ampun
walaupun nyawa melayang di gilas oleh Sang ombak, batu karang enggan
bergerak maju, aku salut dengan ketangguhan batu karang namun aku juga
merasa kasihan melihatnya karena batu karang terlalu sombong meremehkan
ombak yang lemah dan sifatnya yang berapi-api ingin menguasai daratan
sebagai tempat tinggal mereka, batu karang dan ombak bagaikan musuh
abadi yang saban hari bertarung tanpa henti untuk mempertahankan
ideologi, kekuasaan, dan kejayaan mereka tanpa memikirkan rakyat yang
hidup di dalamnya, rakyat tak peduli dengan urusan mereka, rakyat hanya
memikirkan yang penting bisa hidup dengan tenang. Aku berjalan
menelusuri tepi laut dan aku melihat nelayan yang menjala ikan di tengah
laut dengan suara dentuman yang keras seperti bazoka, ombak muntah ke
atas bersama rakyat yang tidak berdosa, rumah mereka hancur
berkeping-keping, banyak anak mereka menjadi yatim karena terkena
dentuman bazoka, mayat-mayat terapung di lautan dengan di iringi lagu
kebangsaan mereka yaitu desiran buih ombak mendayu-dayu dan nelayan pun
merasa senang dengan nasib mereka lalu nelayan itu mengambil mayat yang
terapung dan dibawa pulang ke negerinya untuk di jual atau di jadikan
bahan pendamping sepiring nasi bersama keluarganya namun sebelum sampai
ke daratan para nelayan tersebut di makan gelombang sebagai pembalasan
atas kematian warganya, untungnya para nelayan itu bisa berenang menuju
daratan dengan sekuat tenaga melawan dahsyatnya jurus tenaga dalam
ombak, saat itu aku melihat seorang nelayan hampir kehabisan tenaga, aku
tak tega melihat saudaraku di siksa oleh ombak dan menolong mereka
meskipun aku tidak begitu pandai berenang juga menahan serangan ombak
yang bertubi-tubi datang menyerang seakan-akan mereka menghalangi niat
baikku dan aku sadar bahwa saudaraku yang salah karena saudaraku
mengganggu dan menghancurkan rumah penduduk di negeri mereka dengan bom
cap harimau lalu aku tidak melawan arus mereka namun aku mengikuti arah
jurus-jurus mereka sehingga aku dapat menolong seorang saudaraku
kemudian aku bawa saudaraku ke tepi pantai untuk diberi pertolongan agar
dia selamat, aku tidak tahu dua saudaraku kemana perginya lalu aku
menekan perut saudaraku untuk mengeluarkan air didalam perutnya kemudian
saudaraku siuman dan ia kaget dan merasa heran ketika melihatku
“siapa engkau? wahai anak muda!”kata nelayan
“aku yang menyelamatkan ki sanak dari ganasnya ombak.” Pungkasku
“Lalu bagaimana nasib dengan kedua temanku?”
“aku tidak tahu dengan nasib kedua temanmu itu dan aku hanya bisa menolong dirimu seorang.” Jawabku
“anak muda nama kamu siapa?” tanya nelayan
“ aku seorang musafir.” Kilahku
“terima kasih anak muda atas pertolongannya, sungguh jika tidak ada engkau entah bagaimana nyawaku dan nasib keluargaku di rumah.” Sambil tersenyum
“ ya sama-sama ki sanak dan semua ini atas Kehendak Nya jadi bersyukurlah kepada Nya.” Jawabku
“ iya...ya benar juga katamu, selama ini aku lupa akan karunia Nya.”
“ sekarang ki sanak istirahat dulu di sini! biar aku yang mencari kedua teman ki sanak,” kataku, saat beberapa langkah aku pergi, datang kedua orang yang tidak aku kenal dan ternyata tidak lain adalah kedua teman orang yang aku tolong, kedua orang itu tampak sehat bugar, berwajah sangar dan tingkah lakunya begitu sombong
“ hai anak muda! dimana kau sembunyikan temanku?” tanya mereka lalu aku diam sejenak untuk berpikir dan hatiku berkata, “ sungguh mereka tidak punya sopan santun.”
“kenapa engkau diam saja? ayo jawab!”
“baiklah, ki sanak jangan marah seperti itu, teman ki sanak ada di belakang pohon kelapa itu dan dia hampir tenggelam.”
“ di mana tempatnya? Tunjukkan!”
“ mari ki sanak ikuti aku! apakah benar orang ini teman ki sanak?”
“ya...benar orang ini yang aku maksud!” pungkasnya, namun aku melihat temannya merasa ketakutan yang amat sangat pada dirinya.
“Tuan...tuan baik-baik saja?”
“ ya...aku baik-baik saja dan kamu senang jika aku mati lalu hutang kamu dan keluargamu lunas begitu saja!”
“ tuan jangan buruk sangka kepadaku, justru jika tuan mati aku bersedih dan bagaimana aku bisa menafkahi keluargaku?” sedangkan aku kurang mempunyai keahlian yang lain selain sebagai nelayan.”
“lalu kenapa engkau menolak menggunakan bom untuk mencari ikan di laut?”
“bukannya aku menolak tuan, tetapi istriku sedang hamil.”
“ apa hubungannya?”
“ aku takut terjadi apa-apa kepada si cabang bayi kelak.”
“ aaagghhh...alasan kuno! sekarang kamu siap-siap untuk pergi melaut lagi mencari ikan di laut!”
“tapi tuan aku masih lemas dan tuan masih punya banyak kapal serta cuaca hari ini tidak begitu baik!”
“kamu melawan aku?”
“ ti...ti...tidak tuan.”
“ ayo cepat jangan buang-buang waktu!”
“ ya..tuan tapi tunggu sebentar aku mau bicara dengan pemuda ini, bolehkan?”
“ya!”
“ anak muda tetaplah di sini menungguku pulang dan jika besok nanti aku tidak kembali pulang untuk selamanya, maka aku titipkan anak gadisku yang pertama untukmu, lunasi semua hutangku kepada para lintah darat dan jagalah istriku seperti ibu kandungmu!”
“ tapi ki sanak aku Cuma seorang musafir yang suka berkelana mengikuti angin dan bagaimana aku bisa membahagiakan anakmu dan istrimu?”
“ aku percaya kamu, anggaplah ini semua balas budi ku kepadamu dan aku tidak rela jika anak gadisku menikah dengan seorang lintah darat dan sekarang aku harus pergi!”
“ tunggu ki sanak...!”
“ aku yakin kamu orang yang cerdas, berhati mulia dan ingatlah anak muda rumahku sebelah timur dari tempat engkau berdiri dan cat rumahku berupa bilik bambu yang reyot bertuliskan “Sang Nelayan Timur” dan bawalah ikat kepalaku ini sebagai bukti!”
“ ki sanak...ki sanak jangan lupa berdoa dan tetap waspada!”
“ya! terima kasih sarannya!”
Tinggal aku sendiri di sini menanti esok Sang Fajar terbit kembali sambil berpikir kenapa masih ada orang yang seperti itu di dunia ini?” tidak mempunyai etika,moral dan berhati manusiawi hanya memikirkan harta dan kedudukan semata tanpa memikirkan keselamatan jiwa dirinya sendiri dan orang lain padahal cuaca hari ini kurang begitu bersahabat, awan mendung kelam disertai rintik hujan, sambaran petir, suara angin dan gelombang ombak laut yang besar datang silih berganti, aku berlari mencari tempat untuk berteduh dan akhirnya aku dapat tempat perlindungan di bawah tebing dengan alaskan bebatuan yang cukup besar namun aku tetap khawatir dengan nasib ketiga nelayan yang pergi untuk mencari ikan di dasar laut, di tengah pertarungan musuh abadi yaitu ombak yang rakus dan berapi-api serta batu karang yang kuat dan sombong, kecil kemungkinan mereka bisa selamat dari bencana badai laut, matahari terbenam malam telah tiba di iringi hembusan angin darat yang kurang bersahabat, aku jatuh bangun berpikir sampah yang penuh dengan limbah dunia ketamakan, kebencian, kedustaan dan kemunafikan, sudah sekian lama aku mengunggu dia namun sampai sekarang belum datang juga, “ya...tuhan aku mohon lindungi ketiga temanku dari segala mara bahaya,” aku tidak bisa tidur dengan tenang, aku masih terus memikirkan nasib ketiga temanku lalu aku putuskan malam ini aku tidak akan tidur sampai matahari terbit dan berjalan mengeliling tepi pantai sambil melihat deburan angin dan gelombang ombak bergemuruh di lautan, berharap aku dapat menemukan mereka baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal dunia, aku berjalan terus menyusuri tepi pantai tanpa terasa aku sudah jauh melangkah, rasa kantuk dan lelah mulai menyerang tubuhku lalu aku putuskan untuk menjauhi bibir pantai namun beberapa langkah aku berjalan, aku jatuh tersandung dan tidur beralaskan pasir, beratapkan langit dalam buaian mimpi yang indah, entah itu alam imajinasi atau kenyataan aku tidak tahu yang jelas di sana tempatnya indah, ditemani bidadari yang cantik jelita dan aku tidak ingin pergi dari tempat itu, aku terbuai oleh elus-elusan tangan yang lembut para bidadari namun aku merasa sedikit terganggu dengan suara berisik yang datang silih berganti lalu aku ingin marah dan aku terbangun dari pingsanku, aku melihat dihadapanku seorang gadis cantik yang tersenyum dan mengelus-elus pipiku.
“ aku di mana? aku di mana? dan sudah berapa hari aku pingsan?” tanyaku
“ kamu sekarang berada di rumahku, warga setempat yang membawa kamu ke sini dan hampir seharian kamu pingsan.” Kata dia
“ lalu bagaimana nasib dengan ketiga temanku? aku harus mencarinya!”
“ maksudmu ayahku, kakakku dan paman kentus?”
“ ya...mungkin, aku tidak tahu yang jelas salah seorang dari temanku mempunyai sifat yang tamak, keji dan sombong!” kemudian aku melihat gadis itu menangis tersendu-sendu
“hai...kenapa adinda menangis?” aku tidak mengerti atau ada ucapanku yang salah?”
“ tidak apa-apa, ucapanmu benar dan yang kau maksud adalah bapak dan kakakku, mereka telah tiada untuk selama-lamanya.”
“ adinda yang baik hati aku turut berduka cita dan aku meminta maaf atas semua ucapanku dan sungguh aku tidak tahu semua ini!”
“ya...aku mengerti dan teman yang engkau cari sudah pergi untuk selama-lamanya, mereka ditemukan oleh warga di tepi pantai tidak jauh dari tempat engkau pingsan.”
“ tapi sekarang aku harus pergi untuk menyampaikan amanah ini!” kamu tahu rumah “ Sang Nelayan Timur?” tolong antarkan aku ke sana!”
“ ya, aku tahu tetapi engkau masih perlu istirahat! bagaimana kalau besok?”
“ tidak, aku sudah sehat!”
“ baiklah, akan aku antar engkau ke sana tetapi ada syarat!”
“ apa syaratnya?”
“ rahasia!”
“ baiklah, aku menyanggupi apapun syaratnya!” lalu kami berdua berangkat pergi dan di dalam perjalanan kami saling bercanda gurau namun aku kaget ketika dia bilang, “ kakanda, maukah engkau menjadi pendampingku?” aku hanya bisa diam dan tidak terasa kami telah sampai ke rumah almarhum dan tidak aku duga suasananya sungguh menyenangkan, apalagi melihat dia sudah tidak sedih lagi dan akrab dengan keluarga almarhum, kami bicara ngalor ngidul kadang tawa pun menggelegar dan sampailah ke pokok pembicaraan
“ oh...ya bu le, ada yang ingin bertemu dengan ibu beserta keluarga yang lainnya!”
“ ada perlu apa dan siapa nama kamu?”
“sebelumnya saya turut berduka cita dan meminta maaf, nama saya rama serta saya datang ke sini untuk menyampaikan amanah almarhum yaitu untuk menjaga ibu dan almarhum mengamanahkan agar anak gadis yang pertama menikah dengan saya serta saya harus melunasi hutang keluarga ibu kepada lintah darat, apabila ibu kurang percaya, saya akan tunjukan ikat kepala almarhum sebagai bukti, “ ini buktinya!”
“ kapan kamu bertemu almarhum dan di mana kamu dapatkan ikat kepala ini?”
“ saya bertemu almarhum, saat itu saya jalan-jalan di tepi pantai lalu saya melihat suara dentuman bom meledak di tengah laut kemudian perahu itu terbalik di terjang ombak lalu saya menyelamatkan almarhum begitu juga dengan kedua orang tersebut berhasil menyelamatkan diri tetapi ketika almarhum sedang istiharat disuruh melaut lagi oleh kedua orang itu, padahal almarhum sudah memperingatkan tetapi di hiraukan oleh kedua tersebut dan sebelum almarhum pergi melaut, saya mendapatkan amanah dan menyampaikannya dengan bukti ikat kepala tersebut,” aku melihat wanita itu diam dan malu kepada keluarga almarhum dan aku merasa heran sebenarnya ada apa dengan mereka?”
“ ya sudah, ibu percaya dengan omongan kamu dan tuan putri tidak perlu merasa bersalah ataupun malu kepada keluarga kami!”
“ tidak bu le, semua ini salah bapakku dan aku meminta maaf atas perbuatan bapakku di masa hidupnya kepada keluarga ini!”
“ ya ibu maafkan tetapi ibu tidak bisa membayar hutang kepada tuan putri!”
“ bu le tidak punya hutang apapun kepada keluarga kami, aku ikhlas dan sekarang aku hidup sebatang kara!”
“ terima kasih, tuan putri tidak perlu bersedih karena masih ada kami keluargamu dan anak muda saya terima kamu menjadi bagian keluarga ini dan jemputlah calon istrimu ke sini!”
“ baiklah ibu,” tetapi aku melihat gadis itu kaget ketika dia mendengar bahwa aku direstui menikah dengan anak gadisnya yang begitu cantik dan aku melihat ibu memahami perasaan anak angkatnya itu jatuh cinta kepadaku, di saat seperti ini aku merasa bingung bagaimana nantinya tetapi agghhh...masa bodoh jalani apa adanya!”
“ rama!”
“ ya bu!”
“ kemarilah! acara pernikahanmu minggu depan dan ibu juga akan menikahkan engkau dengan anak angkat ibu ini, kamu mau tuan putri?”
“ ya saya mau tetapi itu terserah mereka berdua!”
“ tuan putri tidak perlu khawatir aku mau berbagi suami dengan dirimu dan Mas Rama juga pasti mau, iya...kan!”
“i...i...iya mau! aku sungguh tidak percaya dengan semua ini, aku tidak menduga bahwa aku punya dua istri sekaligus.”
“mas rama...mas rama kenapa diam?”
“ tidak apa-apa, kemarilah adinda!” peluk daku!” kelak jika kalian menjadi istriku maka kalian mau berbagi kesusahan, senang, duka dan saling percaya satu dengan yang lainnya?”
Mereka menjawab. “ya kami bersedia!”
“Perasaan bingung bercampur bahagia menghantui diriku, apa yang harus lakukan untuk membahagiakan mereka? Sedangkan aku keluar dari pekerjaan yang dulu hingga saat ini aku juga belum mempunyai pekerjaan di sisi lain luka sakit hatiku kepada kekasih yang dulu sudah terobati dengan kehadiran dua bidadari yang cantik jelita.”
“ kelihatannya kanda bingung, ada apa?”
“ tidak ada apa-apa, kanda hanya bingung bagaimana cara menghidupi kalian sedangkan kanda sendiri tidak punya pekerjaan, kanda malu!”
“kanda tidak perlu malu ataupun minder, jodoh, rezeki, dan mati sudah ada yang mengatur,” pungkasnya
“ iya benar, kanda tidak perlu khawatir, apabila kanda tidak punya pekerjaan kelola-lah usaha milik keluarga kami dan itu semua sudah menjadi milik kanda juga!”
“ tapi putri...itu...kan!”
“ itu apa kanda?” dinda putri dan kanda dewi setuju kanda yang mengelola perusahaan kami.”
“Terima kasih atas semangat dan kepercayaannya,” aku merasa senang melihat mereka rukun, saling mendukung, saling menyayangi dan saling percaya serta aku sangat bersyukur sekali atas Karunia Nya dan Tuhan itu Maha Adil, untung aku urungkan niatku untuk mengakhiri hidup dan aku sadar bahwa selain keluarga, harta yang paling berharga adalah nyawa.
“aku yang menyelamatkan ki sanak dari ganasnya ombak.” Pungkasku
“Lalu bagaimana nasib dengan kedua temanku?”
“aku tidak tahu dengan nasib kedua temanmu itu dan aku hanya bisa menolong dirimu seorang.” Jawabku
“anak muda nama kamu siapa?” tanya nelayan
“ aku seorang musafir.” Kilahku
“terima kasih anak muda atas pertolongannya, sungguh jika tidak ada engkau entah bagaimana nyawaku dan nasib keluargaku di rumah.” Sambil tersenyum
“ ya sama-sama ki sanak dan semua ini atas Kehendak Nya jadi bersyukurlah kepada Nya.” Jawabku
“ iya...ya benar juga katamu, selama ini aku lupa akan karunia Nya.”
“ sekarang ki sanak istirahat dulu di sini! biar aku yang mencari kedua teman ki sanak,” kataku, saat beberapa langkah aku pergi, datang kedua orang yang tidak aku kenal dan ternyata tidak lain adalah kedua teman orang yang aku tolong, kedua orang itu tampak sehat bugar, berwajah sangar dan tingkah lakunya begitu sombong
“ hai anak muda! dimana kau sembunyikan temanku?” tanya mereka lalu aku diam sejenak untuk berpikir dan hatiku berkata, “ sungguh mereka tidak punya sopan santun.”
“kenapa engkau diam saja? ayo jawab!”
“baiklah, ki sanak jangan marah seperti itu, teman ki sanak ada di belakang pohon kelapa itu dan dia hampir tenggelam.”
“ di mana tempatnya? Tunjukkan!”
“ mari ki sanak ikuti aku! apakah benar orang ini teman ki sanak?”
“ya...benar orang ini yang aku maksud!” pungkasnya, namun aku melihat temannya merasa ketakutan yang amat sangat pada dirinya.
“Tuan...tuan baik-baik saja?”
“ ya...aku baik-baik saja dan kamu senang jika aku mati lalu hutang kamu dan keluargamu lunas begitu saja!”
“ tuan jangan buruk sangka kepadaku, justru jika tuan mati aku bersedih dan bagaimana aku bisa menafkahi keluargaku?” sedangkan aku kurang mempunyai keahlian yang lain selain sebagai nelayan.”
“lalu kenapa engkau menolak menggunakan bom untuk mencari ikan di laut?”
“bukannya aku menolak tuan, tetapi istriku sedang hamil.”
“ apa hubungannya?”
“ aku takut terjadi apa-apa kepada si cabang bayi kelak.”
“ aaagghhh...alasan kuno! sekarang kamu siap-siap untuk pergi melaut lagi mencari ikan di laut!”
“tapi tuan aku masih lemas dan tuan masih punya banyak kapal serta cuaca hari ini tidak begitu baik!”
“kamu melawan aku?”
“ ti...ti...tidak tuan.”
“ ayo cepat jangan buang-buang waktu!”
“ ya..tuan tapi tunggu sebentar aku mau bicara dengan pemuda ini, bolehkan?”
“ya!”
“ anak muda tetaplah di sini menungguku pulang dan jika besok nanti aku tidak kembali pulang untuk selamanya, maka aku titipkan anak gadisku yang pertama untukmu, lunasi semua hutangku kepada para lintah darat dan jagalah istriku seperti ibu kandungmu!”
“ tapi ki sanak aku Cuma seorang musafir yang suka berkelana mengikuti angin dan bagaimana aku bisa membahagiakan anakmu dan istrimu?”
“ aku percaya kamu, anggaplah ini semua balas budi ku kepadamu dan aku tidak rela jika anak gadisku menikah dengan seorang lintah darat dan sekarang aku harus pergi!”
“ tunggu ki sanak...!”
“ aku yakin kamu orang yang cerdas, berhati mulia dan ingatlah anak muda rumahku sebelah timur dari tempat engkau berdiri dan cat rumahku berupa bilik bambu yang reyot bertuliskan “Sang Nelayan Timur” dan bawalah ikat kepalaku ini sebagai bukti!”
“ ki sanak...ki sanak jangan lupa berdoa dan tetap waspada!”
“ya! terima kasih sarannya!”
Tinggal aku sendiri di sini menanti esok Sang Fajar terbit kembali sambil berpikir kenapa masih ada orang yang seperti itu di dunia ini?” tidak mempunyai etika,moral dan berhati manusiawi hanya memikirkan harta dan kedudukan semata tanpa memikirkan keselamatan jiwa dirinya sendiri dan orang lain padahal cuaca hari ini kurang begitu bersahabat, awan mendung kelam disertai rintik hujan, sambaran petir, suara angin dan gelombang ombak laut yang besar datang silih berganti, aku berlari mencari tempat untuk berteduh dan akhirnya aku dapat tempat perlindungan di bawah tebing dengan alaskan bebatuan yang cukup besar namun aku tetap khawatir dengan nasib ketiga nelayan yang pergi untuk mencari ikan di dasar laut, di tengah pertarungan musuh abadi yaitu ombak yang rakus dan berapi-api serta batu karang yang kuat dan sombong, kecil kemungkinan mereka bisa selamat dari bencana badai laut, matahari terbenam malam telah tiba di iringi hembusan angin darat yang kurang bersahabat, aku jatuh bangun berpikir sampah yang penuh dengan limbah dunia ketamakan, kebencian, kedustaan dan kemunafikan, sudah sekian lama aku mengunggu dia namun sampai sekarang belum datang juga, “ya...tuhan aku mohon lindungi ketiga temanku dari segala mara bahaya,” aku tidak bisa tidur dengan tenang, aku masih terus memikirkan nasib ketiga temanku lalu aku putuskan malam ini aku tidak akan tidur sampai matahari terbit dan berjalan mengeliling tepi pantai sambil melihat deburan angin dan gelombang ombak bergemuruh di lautan, berharap aku dapat menemukan mereka baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal dunia, aku berjalan terus menyusuri tepi pantai tanpa terasa aku sudah jauh melangkah, rasa kantuk dan lelah mulai menyerang tubuhku lalu aku putuskan untuk menjauhi bibir pantai namun beberapa langkah aku berjalan, aku jatuh tersandung dan tidur beralaskan pasir, beratapkan langit dalam buaian mimpi yang indah, entah itu alam imajinasi atau kenyataan aku tidak tahu yang jelas di sana tempatnya indah, ditemani bidadari yang cantik jelita dan aku tidak ingin pergi dari tempat itu, aku terbuai oleh elus-elusan tangan yang lembut para bidadari namun aku merasa sedikit terganggu dengan suara berisik yang datang silih berganti lalu aku ingin marah dan aku terbangun dari pingsanku, aku melihat dihadapanku seorang gadis cantik yang tersenyum dan mengelus-elus pipiku.
“ aku di mana? aku di mana? dan sudah berapa hari aku pingsan?” tanyaku
“ kamu sekarang berada di rumahku, warga setempat yang membawa kamu ke sini dan hampir seharian kamu pingsan.” Kata dia
“ lalu bagaimana nasib dengan ketiga temanku? aku harus mencarinya!”
“ maksudmu ayahku, kakakku dan paman kentus?”
“ ya...mungkin, aku tidak tahu yang jelas salah seorang dari temanku mempunyai sifat yang tamak, keji dan sombong!” kemudian aku melihat gadis itu menangis tersendu-sendu
“hai...kenapa adinda menangis?” aku tidak mengerti atau ada ucapanku yang salah?”
“ tidak apa-apa, ucapanmu benar dan yang kau maksud adalah bapak dan kakakku, mereka telah tiada untuk selama-lamanya.”
“ adinda yang baik hati aku turut berduka cita dan aku meminta maaf atas semua ucapanku dan sungguh aku tidak tahu semua ini!”
“ya...aku mengerti dan teman yang engkau cari sudah pergi untuk selama-lamanya, mereka ditemukan oleh warga di tepi pantai tidak jauh dari tempat engkau pingsan.”
“ tapi sekarang aku harus pergi untuk menyampaikan amanah ini!” kamu tahu rumah “ Sang Nelayan Timur?” tolong antarkan aku ke sana!”
“ ya, aku tahu tetapi engkau masih perlu istirahat! bagaimana kalau besok?”
“ tidak, aku sudah sehat!”
“ baiklah, akan aku antar engkau ke sana tetapi ada syarat!”
“ apa syaratnya?”
“ rahasia!”
“ baiklah, aku menyanggupi apapun syaratnya!” lalu kami berdua berangkat pergi dan di dalam perjalanan kami saling bercanda gurau namun aku kaget ketika dia bilang, “ kakanda, maukah engkau menjadi pendampingku?” aku hanya bisa diam dan tidak terasa kami telah sampai ke rumah almarhum dan tidak aku duga suasananya sungguh menyenangkan, apalagi melihat dia sudah tidak sedih lagi dan akrab dengan keluarga almarhum, kami bicara ngalor ngidul kadang tawa pun menggelegar dan sampailah ke pokok pembicaraan
“ oh...ya bu le, ada yang ingin bertemu dengan ibu beserta keluarga yang lainnya!”
“ ada perlu apa dan siapa nama kamu?”
“sebelumnya saya turut berduka cita dan meminta maaf, nama saya rama serta saya datang ke sini untuk menyampaikan amanah almarhum yaitu untuk menjaga ibu dan almarhum mengamanahkan agar anak gadis yang pertama menikah dengan saya serta saya harus melunasi hutang keluarga ibu kepada lintah darat, apabila ibu kurang percaya, saya akan tunjukan ikat kepala almarhum sebagai bukti, “ ini buktinya!”
“ kapan kamu bertemu almarhum dan di mana kamu dapatkan ikat kepala ini?”
“ saya bertemu almarhum, saat itu saya jalan-jalan di tepi pantai lalu saya melihat suara dentuman bom meledak di tengah laut kemudian perahu itu terbalik di terjang ombak lalu saya menyelamatkan almarhum begitu juga dengan kedua orang tersebut berhasil menyelamatkan diri tetapi ketika almarhum sedang istiharat disuruh melaut lagi oleh kedua orang itu, padahal almarhum sudah memperingatkan tetapi di hiraukan oleh kedua tersebut dan sebelum almarhum pergi melaut, saya mendapatkan amanah dan menyampaikannya dengan bukti ikat kepala tersebut,” aku melihat wanita itu diam dan malu kepada keluarga almarhum dan aku merasa heran sebenarnya ada apa dengan mereka?”
“ ya sudah, ibu percaya dengan omongan kamu dan tuan putri tidak perlu merasa bersalah ataupun malu kepada keluarga kami!”
“ tidak bu le, semua ini salah bapakku dan aku meminta maaf atas perbuatan bapakku di masa hidupnya kepada keluarga ini!”
“ ya ibu maafkan tetapi ibu tidak bisa membayar hutang kepada tuan putri!”
“ bu le tidak punya hutang apapun kepada keluarga kami, aku ikhlas dan sekarang aku hidup sebatang kara!”
“ terima kasih, tuan putri tidak perlu bersedih karena masih ada kami keluargamu dan anak muda saya terima kamu menjadi bagian keluarga ini dan jemputlah calon istrimu ke sini!”
“ baiklah ibu,” tetapi aku melihat gadis itu kaget ketika dia mendengar bahwa aku direstui menikah dengan anak gadisnya yang begitu cantik dan aku melihat ibu memahami perasaan anak angkatnya itu jatuh cinta kepadaku, di saat seperti ini aku merasa bingung bagaimana nantinya tetapi agghhh...masa bodoh jalani apa adanya!”
“ rama!”
“ ya bu!”
“ kemarilah! acara pernikahanmu minggu depan dan ibu juga akan menikahkan engkau dengan anak angkat ibu ini, kamu mau tuan putri?”
“ ya saya mau tetapi itu terserah mereka berdua!”
“ tuan putri tidak perlu khawatir aku mau berbagi suami dengan dirimu dan Mas Rama juga pasti mau, iya...kan!”
“i...i...iya mau! aku sungguh tidak percaya dengan semua ini, aku tidak menduga bahwa aku punya dua istri sekaligus.”
“mas rama...mas rama kenapa diam?”
“ tidak apa-apa, kemarilah adinda!” peluk daku!” kelak jika kalian menjadi istriku maka kalian mau berbagi kesusahan, senang, duka dan saling percaya satu dengan yang lainnya?”
Mereka menjawab. “ya kami bersedia!”
“Perasaan bingung bercampur bahagia menghantui diriku, apa yang harus lakukan untuk membahagiakan mereka? Sedangkan aku keluar dari pekerjaan yang dulu hingga saat ini aku juga belum mempunyai pekerjaan di sisi lain luka sakit hatiku kepada kekasih yang dulu sudah terobati dengan kehadiran dua bidadari yang cantik jelita.”
“ kelihatannya kanda bingung, ada apa?”
“ tidak ada apa-apa, kanda hanya bingung bagaimana cara menghidupi kalian sedangkan kanda sendiri tidak punya pekerjaan, kanda malu!”
“kanda tidak perlu malu ataupun minder, jodoh, rezeki, dan mati sudah ada yang mengatur,” pungkasnya
“ iya benar, kanda tidak perlu khawatir, apabila kanda tidak punya pekerjaan kelola-lah usaha milik keluarga kami dan itu semua sudah menjadi milik kanda juga!”
“ tapi putri...itu...kan!”
“ itu apa kanda?” dinda putri dan kanda dewi setuju kanda yang mengelola perusahaan kami.”
“Terima kasih atas semangat dan kepercayaannya,” aku merasa senang melihat mereka rukun, saling mendukung, saling menyayangi dan saling percaya serta aku sangat bersyukur sekali atas Karunia Nya dan Tuhan itu Maha Adil, untung aku urungkan niatku untuk mengakhiri hidup dan aku sadar bahwa selain keluarga, harta yang paling berharga adalah nyawa.
" Nonda tau ka mampu kalis lahir"
Seno Gumilar Menginsfirasi
Mayat Yang Mengambang Di Danau
SG
Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.
Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.
Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak.
Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar bahaya mengancam.
Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.
Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya, karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.
Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini?
Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai panggilan.
Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.
Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?
Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang.
Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun bagian bumi daripada arloji.
Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya.
Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan.
Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.
”Homo homini lupus….”
Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.
Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya.
”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….”
Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta.
”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,” katanya, ”benarkah sudah cukup kita hanya berdoa?”
Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara.
Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik….
Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya.
Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.
***
Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.
Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa.
Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini.
Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar biasanya menyendiri.
Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah—jelas membuatnya berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan untuk merdeka….
Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan golongan sejenisnya.
Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yang asli.
Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.
Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.
Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.
Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau.
Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah.
Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau.
YANG Q KAGUMI "Sepotong Senja Untuk Pacarku "
"Sepotong Senja Untuk Pacarku "
Oleh Seno Gumilar Adji Darma
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen Pililihan Kompas 1993
Komentar Wawan the Pancer
Sebuah cerpen yang berjudul “Sepotong Senja Untuk Pacarku” karya Bapak Seno Gumilar Adji Darma merupakan sebuah karya sungguh luar biasa karena menggunakan gaya bahasa pada cerpen di atas seperti puisi modern tetapi cara penulisan pilihan kata (diksi) sepintas seperti puisi zaman balai pustaka sehingga membuat hati para pembaca kagum dan ikut larut dalam cerpen tersebut serta didalam cerpen karya beliau boleh dikatakan terdapat banyak pilihan kata (diksi) yang mengandung imajinasi tingkat tinggi, artinya pilihan kata (diksi) dalam cerpen di atas mengandung imajinasi kemudian diimajinasikan kembali dan diimajinasikan lagi sehingga para pembaca (awam) kurang begitu paham dan mungkin para pembaca (awam) mengatakan termasuk kategori atau jenis cerpen apa? Meskipun banyak pilihan kata (diksi) yang mengandung imajinasi dan diimajinasikan lagi yang membuat para pembaca (awam) kurang begitu mengerti, namun mereka paham dan mengerti maksud tujuan atau isi cerpen diatas karena alur cerita cerpen tersebut. Bagi saya pribadi cerpen diatas merupakan sebuah karya yang fantastik dan elegan, belum tentu saya atau orang lain dapat membuat sebuah cerpen yang fantastik dan elegan seperti cerpen karya beliau dan mungkin saya perlu banyak latihan mencoba puluhan kali bahkan ribuan kali membuat sebuah cerpen agar dapat menghasilkan sebuah cerpen yang fantastik dan elegan seperti cerpen diatas karya bapak Seno Gumilar Adji Darma serta menurut saya karya seni sastra merupakan suatu kebebasan berekspresi untuk menuangkan ide atau gagasan atau unek unek jiwa dari pengalaman hidup dan pemikiran manusia yang di tuangkan ke dalam berbagai bentuk karya seperti puisi, novel, drama, lagu, nyanyian, lukisan, merenung, dan lain-lain serta mengandung nilai, manfaat, makna atau pesan pesan yang tersirat di dalamnya. Setiap manusia memiliki jiwa seni sastra dan seni sastra muncul dari hati yang bersih, kosong, kotor dan ikhlas sastra mempunyai daya ledak yang begitu besar melebihi daya ledak bom nuklir baik itu berdampak positif maupun negatif tergantung manusia itu sendiri memaknai sastra.
Oleh Seno Gumilar Adji Darma
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen Pililihan Kompas 1993
Komentar Wawan the Pancer
Sebuah cerpen yang berjudul “Sepotong Senja Untuk Pacarku” karya Bapak Seno Gumilar Adji Darma merupakan sebuah karya sungguh luar biasa karena menggunakan gaya bahasa pada cerpen di atas seperti puisi modern tetapi cara penulisan pilihan kata (diksi) sepintas seperti puisi zaman balai pustaka sehingga membuat hati para pembaca kagum dan ikut larut dalam cerpen tersebut serta didalam cerpen karya beliau boleh dikatakan terdapat banyak pilihan kata (diksi) yang mengandung imajinasi tingkat tinggi, artinya pilihan kata (diksi) dalam cerpen di atas mengandung imajinasi kemudian diimajinasikan kembali dan diimajinasikan lagi sehingga para pembaca (awam) kurang begitu paham dan mungkin para pembaca (awam) mengatakan termasuk kategori atau jenis cerpen apa? Meskipun banyak pilihan kata (diksi) yang mengandung imajinasi dan diimajinasikan lagi yang membuat para pembaca (awam) kurang begitu mengerti, namun mereka paham dan mengerti maksud tujuan atau isi cerpen diatas karena alur cerita cerpen tersebut. Bagi saya pribadi cerpen diatas merupakan sebuah karya yang fantastik dan elegan, belum tentu saya atau orang lain dapat membuat sebuah cerpen yang fantastik dan elegan seperti cerpen karya beliau dan mungkin saya perlu banyak latihan mencoba puluhan kali bahkan ribuan kali membuat sebuah cerpen agar dapat menghasilkan sebuah cerpen yang fantastik dan elegan seperti cerpen diatas karya bapak Seno Gumilar Adji Darma serta menurut saya karya seni sastra merupakan suatu kebebasan berekspresi untuk menuangkan ide atau gagasan atau unek unek jiwa dari pengalaman hidup dan pemikiran manusia yang di tuangkan ke dalam berbagai bentuk karya seperti puisi, novel, drama, lagu, nyanyian, lukisan, merenung, dan lain-lain serta mengandung nilai, manfaat, makna atau pesan pesan yang tersirat di dalamnya. Setiap manusia memiliki jiwa seni sastra dan seni sastra muncul dari hati yang bersih, kosong, kotor dan ikhlas sastra mempunyai daya ledak yang begitu besar melebihi daya ledak bom nuklir baik itu berdampak positif maupun negatif tergantung manusia itu sendiri memaknai sastra.
Langganan:
Komentar (Atom)